Blogger templates

Pages

Sabtu, 07 Mei 2016

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR


LAPORAN PENDAHULUAN
 ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR

http://1.bp.blogspot.com/-YDMCli0r0rk/TsHZEB6GjLI/AAAAAAAAAAM/vEH6Vv__9L4/s1600/lambang.gif

OLEH : KELOMPOK I

PUTU ARTA MARDIKA                                       (14E11187)
NI PUTU AYU EKA ARIYASTINI                      (14E11190)
I WAYAN CAHYADI                                             (14E111960
LUH KADEK CITA HENI KARUNIA                (14E11198)
I PUTU GIANIKA SEMARA PUTRA                 (14E11228)
L. PT. INDAH KRISNAYANTI                            (14E11234)
NI MADE INDRIANI                                              (14E11237)
NUR AZIZAH                                                           (14E11265)
LUH PUTU REVANA GIOVANI DE DIAN       (14E11284)
NI KADEK SANI PARWASIH                             (14E11287)
NI LUH SRI RAHAYU                                           (14E11296)
DEWA AYU TRISNA N.                                        (14E11309)
KADEK WIKA SANCITA                                     (14E11320)
PUTU WULANDARI DEWI SEPITRI                (14E11326)

PRODI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BALI
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR

A.    Tinjauan Teori Fraktur Femur
1.      Anatomi Fisiologi Tulang
a.      Anatomi
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, tulang   dapat   diklasifikasikan   dalam   lima   kelompok   berdasarkan   bentuknya :
1)      Tulang panjang (Femur, Humerus)  terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
2)      Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3)      Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
4)      Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5)      Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm). Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna  Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.
b.      Fisiologi
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1)      Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2)      Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
3)      Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
4)      Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
5)      Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

2.      Definisi
a.      Definisi Fraktur
1)      Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2003).
2)      Menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang dating lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
3)      Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002).
4)      Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).
5)      Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma (Tambayong: 2000).
6)      Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik ( Price, 1995)

b.      Definisi Fraktur Femur
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada tulang femur dapat menimbulkan perdarahan cukup banyak serta mengakibatkan penderita mengalami syok (Sjamsuhidajat, 2004).

3.      Klasifikasi
Klasifikasi fraktur femur berdasarkan tempat terjadinya antara lain:
a.      Fraktur Collum Femur:
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :
1)      Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
2)      Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)


b.      Fraktur Subtrochanter Femur
Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
1)      Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
2)      Tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter minor
3)      Tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanter minor

c.       Fraktur Batang Femur (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Fraktur batang femur dibagi menjadi :
1)      Tertutup
2)      Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
a)      Derajat I: Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
b)      Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan dari luar.
c)      Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
d.      Fraktur Batang Femur (anak-anak)
e.       Fraktur Supracondyler Femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
f.       Fraktur Intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
g.      Fraktur Condyler Femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
Selain itu fraktur femur dapat dibedakan menjadi:
a.      Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengandunia luar.
b.      Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1)      Derajat I
(a)    luka kurang dari 1 cm
(b)   kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
(c)    fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
(d)   Kontaminasi ringan.
2)      Derajat II
(a)    Laserasi lebih dari 1 cm
(b)   Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
(c)    Fraktur komuniti sedang.
3)      Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c.       Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser  dari posisi normal).
d.      Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
4.      Patofisiologi
a.      Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1)      Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a)      Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara         spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada   kulit  diatasnya.
b)      Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,      misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c)      Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2)      Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor    dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a)      Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali   dan progresif.
b)      Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat      timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c)      Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang    mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,      tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh      karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3)      Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada    penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.


b.      Proses Terjadi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson: 1995).

c.       Manifestasi Klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut :
1)      Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2)      Bengkak /edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasasi daerah di jaringan sekitarnya.
3)      Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasasi daerah di jaringan sekitarnya.
4)      Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur.
5)       Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6)      Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. Paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
7)      Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
8)      Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.

9)       Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
10)  Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
11)  Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur.

d.      Komplikasi
1)      Komplikasi Awal
a)    Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b)     Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c)      Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d)     Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e)      Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f)       Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2)      Komplikasi Dalam Waktu Lama
a.      Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b.      Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.       Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

5.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pemeriksaan radiologi
1)      Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2)      Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan         mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
b.       Pemeriksaan laboratorium
1)         Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau   menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), Peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
2)         Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
c.          Pemeriksaan Penunjang Lain
1)      Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
2)       CCT: dilakkukan bila banyak kerusakan otot.

6.      Penatalaksanaan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan meliputi:
a.       Inspeksi bagian tubuh yang fraktur
1)      Inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
2)      Observasi angulasi, pemendekan dan rotasi
3)      Palpasi nadi distal untuk fraktur dan pulsasi semua perifer
4)      Kaji suhu dingin, pemucatan, penurunan sensasi atau tidak adanya pulsasi; hal tersebut menandakan cedera pada saraf atau suplai darah terganggu
5)      Tangani bagian tubuh dengan lembut dan sesedikit mungkin gerakan yang kemungkinan dapat menyebabkan gerakan pada tulang yang fraktur

b.      Berikan bebat sebelum pasien dipindahkan; bebat dapat mengurangi nyeri, memperbaiki sirkulasi, mencegah cedera lebih lanjut, dan mencegah fraktur tertutup menjadi fraktur terbuka.
1)      Imobilisasi sendi diatas dan dibawah daerah fraktur. Tempatkan satu tangan distal terhadap fraktur dan berikan satu penarikan ketika menempatkan tangan lain diatas fraktur untuk menyokong.
2)      Pembebatan diberikan diberikan meluas sampai sendi dekat fraktur.
3)      Periksa status vaskuler ekstremitas setelah pembebatan; periksa warna, suhu, nadi dan pemucatan kuku.
4)      Kaji untuk adanya deficit neurologi yang disebabkan oleh fraktur.
5)      Berikan balutan steril pada fraktur terbuka.

c.       Kaji adanya keluhan nyeri atau tekanan pada area yang mengalami  cedera.
d.      Pindahkan pasien secara hati-hati dan lembut, untuk meminimalisasi gerakan yang dapat menyebabkan gerakan pada patahan tulang.
e.       Lakukan penanganan pada trauma yang spesifik (trauma femur)
Femur biasanya patah pada sepertiga tengah, walaupun pada orang tua selalu dipikirkan patah pangkal tulang paha (collum femoris). Fraktur ini dapat menjadi fraktur terbuka dan kalau hal ini terjadi harus ditangani sebagai fraktur terbuka. Banyak otot disekeliling femur dan perdarahan massif dapat terjadi pada paha. Fraktur femur bilateral dapat menyebabkan kehilangan sampai dari 50% volume sirkulasi darah.
(Paula Kristanty, 2009)


Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a.      Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya, mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur, menentukan teknnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.

b.      Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).

c.       Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

d.      Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Selain konsep dasar tersebut terdapat beberapa penatalaksanaan fraktur, diantaranya:
a.      Terapi konservatif : 
1)      Proteksi
2)      Immobilisasi saja tanpa reposisi
3)      Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips/traksi
b.      Terapi operatif : ORIF (Open Reduction And Internal Fixation)
(1)   Indikasi ORIF :
a)      Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi
b)      Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
c)      Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
d)     Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi
e)      Excisional Arthroplasty

(2)   Jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
a)      Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
b)      Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam
c)      Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d)     Amputasi : penghilangan bagian tubuh
e)      Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
f)       Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
g)      Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
h)      Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau sintetis
i)        Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
j)        Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia. (Ramadhan: 2008)

(3)   Tindakan ORIF meliputi:
a)      Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang      bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur
b)      Fraktur diperiksa dan diteliti,
c)      Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
d)     Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
e)      Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik  berupa; pin, sekrup, plate, dan paku

(4)   Keuntungan ORIF:
a)      Reduksi akurat
b)      Stabilitas reduksi tinggi
c)      Pemeriksaan struktur neurovaskuler
d)     Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
e)      Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat
f)       Rawat inap lebih singkat
g)      Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal

(5)   Kerugian ORIF:
a)      Kemungkinan terjadi infeksi
b)      Osteomielitis

c.       Terapi Medis
1)      Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
2)      Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
3)      Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
4)      Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)




B.     Tinjauan Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan Fraktur Femur
1.      Pengkajian
a.      Pengkajian primer
1)      Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardia, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membrane mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2)      Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
3)       Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara napas terdengar rochi/aspirasi.
b.      Pengkajian sekunder
1)      Aktivitas/istirahat
a)      Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b)      Keterbatasan mobilitas
2)      Sirkulasi
a)      Hipertensi (kadang terlihat sebgai respon nyeri/ansietas)
b)      Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
c)      Tachikardia
d)     Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera
e)      Capillary refill melambat
f)       Pucat pada bagian yang terkena
g)      Masa hematoma pada sisi cedera
3)      Neurosensori
a)      Kesemutan
b)      Deformitas, krepitasi, pemendekan
c)      Kelemahan
4)      Kenyamanan
a)      Nyeri tiba-tiba saat cedera
b)      Spasme/kram otot
5)      Keamanan
a)      Laserasi kulit
b)      Perdarahan
c)       Perubahan warna
d)     Pembengkakan lokal
(Musliha, 2010)
c.       Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1)      Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
2)      Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur invasif, traksi tulang
3)      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan intregritas tulang, terapi pembatasan gerak, kerusakan musculoskeletal
4)      Resilko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh darah.
5)      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah arteri atau vena, trauma pada pembuluh darah.
6)      Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cedera jaringan lunak sekuderakibat fraktur femur terbuka.

2.      Perencanaan
a.      Prioritas Diagnosa Keperawatan
1)      Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
2)      Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cedera jaringan lunak sekuderakibat fraktur femur terbuka.
3)      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah arteri atau vena, trauma pada pembuluh darah.
4)      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan intregritas tulang, terapi pembatasan gerak, kerusakan musculoskeletal
5)      Resilko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh darah.
6)      Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur invasif, traksi tulang

b.      Rencana Asuhan Keperawatan
1)      Diagnosa 1:
a)      Rencana Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan nyeri yang dialami pasien berkurang atau hilang.

b)     Kriteria Hasil
(1)   Pasien menyatakan nyeri berkurang
(2)   Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
(3)   Pasien tampak rileks
(4)   TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
(5)    Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
(6)   Skala nyeri 0 dari 0 - 10
(7)   Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.

c)      Rencana Tindakan
(1)   Observasi TTV.
R :    Mengetahui kondisi pasien sehingga dapat menentukan rencana selanjutnya seperti peningkatan nadi, tekanan darah dimana menunjukan adanya peningkatan atau penurunan akibat rasa nyeri sehingga merupakan indikator atau derajat nyeri secara tidak langsung.
(2)   Kaji nyeri dengan teknik PQRST.
R :    Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan perubahan dimana memerlukan evaluasi dan intervensi yang berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.
(3)   Anjurkan klien istirahat di tempat tidur.
R :    Istirahat yang adekuat dapat mengurangi intensitas nyeri dimana istirahat dapat meningkatkan normalisasi fungsi organ, misalnya menurunkan ketidaknyamanan pada daerah abdomen post operasi.
(4)   Beri posisi nyaman.
R :    Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.
(5)   Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
R :     Distraksi menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien dengan cara mengajak pasien dalam hal-hal yang digemari pasien. Relaksasi mengurangi ketegangan, membuat perasaan lebih nyaman, dan meningkatkan mekanisme koping.
(6)   Beri kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
R :    Menghilangkan atau mengurangi nyeri melalui cara meningkatkan rasa nyaman dimana dengan mengompres di sekitar daerah yang terindikasi dapat memvasodilatasi dan meningkatkan aliran sirkulasi sehingga dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan relaksasi otot akibat nyeri yang ditimbulkan dan memberikan sensasi yang menyenangkan.

(7)   Intruksikan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri itu muncul.
R :    Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat menurunkan beratnya serangan yang ditimbulkan.
(8)   Beri teknik sentuhan yang terapeutik, biofeedback, hipnotis sendiri, dan reduksi stress.
R :    Memberikan pasien sejumlah pengendali nyeri dan / atau dapat mengubah mekanisme sensasi nyeri dan mengubah persepsi nyeri.
(9)   Beri HE mengenai manajemen nyeri.
R :    Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berlangsung, dan antisipasi ketidak nyamanan akibat timbulnya nyeri sehingga pasien tidak mengalami kecemasan dan pasien mampu mandiri untuk menangani jika nyeri itu timbul.
(10)           Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
R :    Analgetik berguna mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi lebih nyaman dimana obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interprestasi nyeri sistem saraf pusat pada thalamus dan korteks serebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum pasien merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri.

2)      Diagnosa 2
a)      Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kerusakan integritas jaringan dapat diatasi.
b)     Kriteria hasil
(1)     Penyembuhan luka sesuai waktu
(2)     Tidak ada laserasi, integritas kulit baik


c)      Rencana tindakan
(1)     Observasi keadaan kulit/kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada klien.
R : menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi perawatan luka, alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang akam dilakukan.
(2)      Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
R : apa bila masih belum tercapai kriteria evaluasi, sebaiknya perlu dikaji ulang faktor-faktor apa yang menghambat pertumbuhan jaringan lika.
(3)     Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
R : perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi kontaminasi kuman langsung kearea luka
(4)     Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang)
R  : Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
(5)     Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
R    : Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
(6)     Kolaborasi dengan tim bedah untuk dikukan bedah perbaikan pada karusakan jaringan agar tingkat kesembuhan dapat dipercepat.
R : Bedah perbaikan dilakukan terutama pada klien fraktur terbuka dengan luka yang luas yang dapat menjadi pintu  masuk kuman yang ideal.



3)      Diagnosa 3
a)      Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan perfusi jaringan efektif
b)     Kriteria hasil
(1)   Meningkatkan perfusi jaringan
(2)   Tingkat kesadaran composmentis
(3)   Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
(4)   Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
(5)   Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
(6)    Nadi perifer tidak teraba
(7)    Edema perifer tidak ada

c)      Rencana tindakan
(1)   Auskultasi frekuensi dan irama jantung, catat terjadinya bunyi jantung ekstra.
R : Takikardia sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi upaya peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan.
(2)   Pantau/catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.
R : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK.
(3)   Melakukan perawatan sirkulasi perifer secara komprehensif misal: periksa nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna, dan suhu ekstremitas.
R : Mengetahui keefektifan intervensi dan perkembangan pasien.
(4)   Ajarkan pasien pentingnya mematuhi diit dan program pengobatan.
R  : Mempercepat proses penyembuhan.
(5)   Tinggikan anggota badan yang terkena 20 derajat atau lebih tinggi dari jantung.
R  : Meningkatkan aliran darah balik vena.
(6)   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti trombosit & anti koagulan
R  : Untuk meningkatkan aliran darah serebral

4)      Diagnosa 4
a)      Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang
b)      Kriteri hasil
1)      Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi yang mungkin
2)      Mempertahankan posisi fungsional
3)      Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
c)      Rencana tindakan
(1)   Kaji kemampuan mobilisasi pasien
R   : Menilai sejauh mana masalah yang dialami pasien
(2)   Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
R   :Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
(3)   Berikan penyangga pada ekstrimitas yang bermasalah
R   : Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
(4)   Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
R     : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia).
(5)   Dorong/pertahankan asupan cairan.
R   : Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi
urinarius dan konstipasi
(6)   Berikan diet TKTP.
R     : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
(7)   Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
R     : Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual

5)      Diagnosa 5
a)      Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan resiko syok hipovolemik tidak terjadi.
b)     Kriteria hasil
1)      Klien tidak mengeluh pusing
2)      Membra mukosa lembab
3)      Turgor kulit normal
1)      TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80 mmHg)
4)      CRT <2 detik
5)      Urine >600 ml/hari

c)      Rencana tindakan
1)      Pantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran urine).
R  :  Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan oleh keadaan status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunan produksi urine, pemantauan yang ketat pada produksi urine < 600 ml/ hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.

2)      Kaji sumber kehilangan cairan.
R  :  Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor gijal dan diluar ginjal. Penyakit yang mendasari terjadinya kekurangan volume cairan ini juga haris diarasi. Perdarahan harus dikendalikan.
3)      Auskultasi tekanan darah. Bandingkan kedua lengan.
R :  hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia yang menunjukan terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan konpensasi mempertahankan tekanan darah.
4)      Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara teratur.
R : Mengetahui adanya pengaruh penungkatan tahanan perifer.
5)      Pantau frekuensi dan irama jantung.
R : Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukan komplikasi disritmia.
6)      Kolaborasi  pemberian cairan melalui intravena.
R : Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan perawat dalam melakukan kontrol asupan dan haluaran cairan.

6)      Diagnosa 6
a)      Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
b)     Kriteri hasil
1)               Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
2)               Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
3)               Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
4)               Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000)
c)      Rencana tindakan
1)               Observasi tanda-tanda vital dan  tanda-tanda infeksi
R           : peningkatan suhu tubuh merupakan salah satu tanda terjadinya proses infeksi.
2)               Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
R           : Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
3)               Lakukan perawatan perawatan luka
R           :  Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
4)               Ajarkan klien untuk mempertahankan kebersihan luka.
R           : Meminimalkan kontaminasi dan resiko terjadinya infeksi
5)               Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
R           : Mencegah terjadinya infeksi secara lebih awal
6)               Kolaborasi pemberian antibiotika
R           : Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi.

3.      Pelaksanaan
Menurut Nursalam (2011), Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.



4.      Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan implementasinya (Nursalam, 2011), maka hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana tujuan, yaitu:
a.       Nyeri yang dialami pasien berkurang.
Kriteria hasil:
1)      Pasien menyatakan nyeri berkurang
2)      Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
3)      Pasien tampak rileks
4)      TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
5)       Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
6)      Skala nyeri 0 dari 0 - 10
7)      Wajah tampak tenang dan rileks.
8)      Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.

b.      Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi
Kriteria hasil :
1)      Penyembuhan luka sesuai waktu
2)      Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

c.       Perfusi jaringan efektif
Kriteria hasil :
1)      Meningkatkan perfusi jaringan
2)      Tingkat kesadaran composmentis
3)      Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
4)      Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
5)      Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
6)       Nadi perifer tidak teraba
7)       Edema perifer tidak ada
d)     Pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang
Kriteri hasil :
1)      Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi yang mungkin
2)      Mempertahankan posisi fungsional
3)      Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit

e)      Resiko syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1)      Klien tidak mengeluh pusing
2)      Membra mukosa lembab
3)      Turgor kulit normal
4)      TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80 mmHg)
5)      CRT <2 detik
7)      Urine >600 ml/hari

f)       Tidak terjadi infeksi
Kriteri hasil :
1)      Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
2)      Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
3)      Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
4)      Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000)


C.    WoC
path_bedah






DAFTAR PUSTAKA






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About