LAPORAN
KEGIATAN
KUNJUNGAN KE PUSKESMAS KUTA I
OLEH :
KELOMPOK V
1.
I
GEDE RELADI
PUTRA (14E11281)
2.
NI
L. PT. REVANA
GIOVANI DE DIAN (14E11284)
3.
NI
KADEK SANI PARWASIH (14E11287)
4.
I
GUSTI AGUNG AYU SINTIA
PARAMITA (14E11289)
5.
NI
KADEK SRI ARISTA DWI JAYANTI (14E11293)
6.
NI
LUH SRI RAHAYU (14E11296)
7.
GST.
AYU PT. SUCI
ARIS PURWANTI (14E11299)
8.
NI
MADE SUSIYANTINI (14E11302)
9.
NI
MADE TIRTA
ARTASWARI (14E11305)
KELAS A
PRODI D III KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN BALI
APRIL 2016
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puja
dan puji syukur penulis
panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada
waktunya. Laporan ini dibuat berdasarkan informasi yang didapat dari berbagai
sumber.
Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Unuk itu penulismengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan serta penyusunan
laporan kegiatan ini. Mudah-mudahan dengan sumbangsih yang penulis berikan
dapat memberikan dan menambah pengetahuan di bidang kesehatan pariwisata.
Mengingat banyaknya kelemahan yang
penulis miliki, tentunya laporan ini memiliki banyak kekurangan baik dalam
penulisan maupun penyajian, untuk itu penulis akan sangat berterimakasih jika
ada pendapat, kritik serta saran demi perbaikan penulis ini. Walaupun demikian,
penulis berharap laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Om Santih, Santih,
Santih Om
Denpasar,
29 April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Tujuan Kegiatan.......................................................................... 2
1.3. Manfaat Kegiatan....................................................................... 2
BAB II ISI ................................................................................................... 3
2.1. Program Pengembangan Puskesmas 1 Kuta:
Kesehatan
Pariwisata.................................................................................... 3
2.1.1. Peran Puskesmas 1 Kuta dalam Kesehatan
Pariwisata .... 3
2.1.2. Implementasi/Pelaksanaan Program
Pengembangan
Kesehatan Pariwisata oleh Puskesmas 1 Kuta
(Poliklinik VCT, IMS dan Metadhon).............................. 7
2.1.3. Masalah atau Kendala-Kendala yang
Dihadapi
Puskesmas 1 Kuta dalam Pelaksanaan Program
Pengembangan Kesehatan Pariwisata............................... 24
BAB III HASIL DAN HAMBATAN......................................................... 26
BAB IV KESIMPULAN.............................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 29
LAMPIRAN.................................................................................................. 30
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri
pariwisata berkembang dengan sangatpesat dan menjadi sumber devisa yang besar
bagi Indonesia. Seiring denganperkembangan tersebut, perhatian terhadap aspek-aspek
yang berkaitan denganpariwisata seperti infrastruktur, keamanan, kesehatan dan
konservasi lingkungan jugaperlu ditingkatkan.
Sehubungan dengan program “Visit
Indonesia Year 2008”, tepatlah saat iniuntuk membahas tentang kesehatan dalam
pariwisata di Indonesia, gunameningkatkan kesadaran providers (pemberi layanan
pariwisata maupun petugaskesehatan) dan masyarakat untuk memperbaiki mutu
pelayanan dan upayapencegahan penyebaran peyakit, sehingga dapat meningkatkan
kualitas pariwisataIndonesia. Selayaknyalah tempat tujuan wisata menjadi tempat
yang menawarkanpengalaman menarik yang ditunjang oleh kualitas lingkungan yang
sehat denganmenjauhkan semua faktor resiko kesehatan.
Bali merupakan salah satu pulau tujuan
wisata yang terkenal di dunia. Jumlah kunjungan wisatawan ke Bali dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah kunjungan tersebut
menuntut pemerintahan provinsi Bali untuk mendukung segala aspek yang
berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan sektor pariwisata.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian
dalam mendukung pariwisata di Bali adalah aspek kesehatan, dimana program
pemerintah provinsi Bali adalah menjalin kerjasama lintas sektoral antara
sektor pariwisata dan sektor kesehatan dengan mengembangkan puskesmas wisata. Puskesmas
wisata merupakan sebuah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
yang bertanggungjawab terhadap pembangunan kesehatan pariwisata di wilayah
kerjanya. Salah satu Puskesmas wisata yang ada di Bali adalah Puskesmas Kuta I
yang terletak di kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
Untuk itu Program Studi Diploma III Keperawatan STIKES Bali memprakarsai
sebuah kunjungan lapangan yang menjadi
salah satu angenda pembelajaran mahasiswa DIII Keperawatan STIKES Bali selain
melakukan proses belajar mengajar dikelas. Berangkat dari trend isue tersebut
diatas maka pada tanggal 29 April 2016 mahasiswa tingkat II semester IV kelas A
program studi DIII Keperawatan melakukan kunjungan lapangan ke Puskesmas Kuta I
untuk melihat dan mempelajari lebih banyak tentang kegiatan yang dilakukan di
Puskesmas Kuta I.
1.2. TUJUAN KEGIATAN
Adapun tujuan diadakannya
kegiatan ini yaitu untuk mengetahui program pengembangan Puskesmas Kuta I
Kesehatan dalam kesehatan pariwisata meliputi:
1) Peran
Puskesmas Kuta Idalam Kesehatan pariwisata
2) Implementasi/pelaksanaan
program pengembangan kesehatan pariwisata oleh Puskesmas Kuta I (poliklinik
VCT, IMS dan metadhon)
3) Masalah
atau kendala-kendala yang dihadapi Puskesmas Kuta I dalam penatalaksanaan program
pengembangan kesehatan pariwisata.
1.3.MANFAAT KEGIATAN
Melalui kegiatan kunjungan ke Puskesmas Kuta I,
diharapkan mahasiswa Stikes Bali memperoleh pengalaman baru di bidang pelayanan
kesehatan masyarakat, dengan demikian niscaya kualitas tenaga perawat Indonesia di masa yang akan
datang dapat setara dengan kualitas perawat di negara-negara maju.
BAB II
ISI
2.1.
PROGRAM
PENGEMBANGAN PUSKESMAS KUTA I: KESEHATAN PARIWISATA
2.1.1.
Peran
Puskesmas Kuta I dalam Kesehatan Pariwisata
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Kepmenkes RI, 2014b). Puskesmas
sebagai layanan kesehatan primer dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia
digolongkan dalam strata I. Sebagai provider pemberi layananan kesehatan primer
dalam perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS, puskesmas memiliki tugas,
fungsi, sumber daya manusia serta kompetensi yang disesuaikan dengan golongan
strata satu.
Dalam rangka mendukung Visit Indonesia
Year 2008, sektor kesehatan sangatpenting untuk diperhatikan. Perhatian yang
diberikan harus tetap mempertimbangkan bidangmana di kesehatan atau instansi
mana di sektor kesehatan yang patut diajak bekerjasamaagar sektor pariwisata
terus berkembang dan maju didukung oleh meningkatnya sektorkesehatan di negara
ini.
“Peran Puskesmas Wisata DalamMendukung
Visit Indonesia Year 2008”, dengan beberapa alasan diantaranya :
1. Dalam
era reformasi, puskesmas berubah menjadi puskesmas era desentralisasi
denganberbagai perubahan. Perubahan signifikannya adalah adanya basic six dan
programkesehatan pengembangan, yang memungkinkan puskesmas untuk
menyelenggarakanprogram kesehatan pengembangan sesuai dengan situasi, kondisi
dan kultur setempat.Khususnya di Bali dan Indonesia pada umumnya bagi puskesmas
yang berada di daerahpariwisata yang tinggi kunjungan wisatanya dapat
mengembangkan puskesmas wisata,yang melayani wisatawan apabila wisatawan
mengalami masalah kesehatan.
2. Mencegah
fatalnya kondisi kesehatan wisatawan yang disebabkan oleh kecelakaan
ataupenyakit lainnya di tempat wisata, sehingga memerlukan penanganan awal di
puskesmassebelum dirujuk ke pelayanan kesehatan lainnya apabila diperlukan.
3. Meningkatkan
tingkat kepuasan wisatawan selama berada di daerah wisata karenawisatawan mampu
menikmati tempat wisata dengan keindahan alam atau lingkunganyang bersih,
nyaman dan sehat. Ini terjadi karena sudah menjadi tugas puskesmas untuktetap
menggerakkan masyarakat dalam pemberdayaan maupun partisipasi masyarakatuntuk
menjaga dan meningkatkan kesehatan lingkungan. Mengingat 35,10 % wismanpunya
kesan bahwa lingkungan Bali masih kotor (Pitana dan Gayatri, 2005).
4. Meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat setempat, karena puskesmas mempunyaitugas untuk
tetap melakukan promosi kesehatan demi terjadinya perubahanpengetahuan, sikap
dan prilaku masyarakat yang mengarah ke PHBS.
5. Bila
PHBS terjadi di masyarakat, maka masyarakat tidak lagi menjadi sumber
masalahkesehatan, termasuk munculnya penyakit-penyakit menular seperti diare,
DHF, fluburung, HIV-AIDS, tuberculosis dan lain-lain. Akhirnya wisatawanpun
merasa amanberkunjung ke daerah wisata termasuk melakukan wisata desa seperti
misalnya desawisata yang ada di Bali (Desa Penglipuran, Jati Luih, Lovina dan
TengananPegringsingan).
6. Dengan
meningkatnya PHBS di masyarakat, dengan sendirinya wisatawan juga terhindardari
risiko tertular penyakit khsusnya penyakit menular yang menyerang
penduduksetempat. Karena dalam berwisata akan selalu terjadi interaksi baik
antara lingkungandengan manusia (wisatawan/masyarakat dengan lingkungan) maupun
manusia denganmanusia (wisatawan dengan masyarakat setempat).
7. Pada
akhirnya puskesmas akan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
diwilayah kerjanya, serta menjadi panutan bagi puskesmas lainnya dalam
rangkamencapai Indonesia Sehat 2010.
Tujuan pembangunan
kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Kuta I adalah untuk mendukung
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal diwilayah
kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
rangka mewujudkan Indonesiam Sehat.
UPT. Puskesmas Kuta I, memiliki fungsi
untuk mendukung visi dan misi yang telah ditetapkan. UPT. Puskesmas Kuta I
memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
2. Pusat pemberdayaan masyarakat
3. Pusat
pelayanan kesehatan strata pertama, yaitu: pelayanan kesehatan dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
Untuk melaksanakan fungsi tersebut,
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional, maka dilaksanakan
18 kegitan pokok puskesmas, pembinaan peran serta masyarakat, kerja sama dengan
lintas sektoral, dan memberikan pelayanan rawat inap.
Tidak seperti puskesmas pada umumnya,
puskesmas Kuta I memiliki
keunikan tersendiri karena mengingat lokasinya yang terletak di jantung
pariwisata Bali. Selain poliklinik yang melayani pasien dengan penyakit umum
terjadi di masyarakat seperti poliklinik interna, poliklinik gigi, poliklinik
THT dan lainnya, Puskesmas Kuta 1 memiliki 3 poliklinik yang tidak selalu ada
di puskesmas lain di Bali yaitu poliklinik VCT, poliklinik IMS dan poliklinik
methadone yang memiliki peran penting dalam menanggulangi penyakit-penyakit
yang angka kejadiannya tinggi di daerah pariwisata yang memiliki karakteristik
mobilitas penduduk tinggi, banyaknya penduduk pendatang dan mata pencaharian
masyarakat sekitar terutama di bidang perdagangan dan jasa.
Ketiga poliklinik tersebut adalah
sebagai penanganan tingkat dasar terhadap penyebaran penyakit khususnya penyakit
menular seksual, diantaranya:
1. Poliklinik
VCT
Poliklinik VCT melayani pasien
dengan keinginan sendiri melakukan test HIV dengan sebelumnya mendapatkan pre
test konseling sampai dengan merujuk ke rumah sakit pusat apabila ditemukan hasil
uji positif.
2. Poliklinik
IMS
Puskesmas
Kuta I menyediakan poliklinik khusus untuk infeksi menular seksual (IMS) dengan keluhan penyakit seperti cervicitis, sifilis,
GO dan urethritis. Pasien yang positif terdiagnosa penyakit tersebut
selanjutnya akan disarankan untuk melakukan pemeriksaan di poliklinik VCT untuk
early detection terhadap infeksi HIV.
Pelayanan kesehatan diberikan oleh dokter dan
paramedis yang telah terlatih dalam bidang IMS. Dalam hal ini kepandaian
seorang perawat dalam menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari seorang
pasien sangat penting, sehingga dapat mendapatkan
informasi terkait dengan masalah yang dialami pasien. Salah satu informasi awal
yang penting untuk diketahui terkait dengan masalah infeksi menular seksual
adalah tentang gaya hidup atau kebiasaan
pasien dalam berhubungan seks, seperti misalnya tentang partner seks. Partner
seks yang dimaksud disini, apakah pasien berhubungan seks dengan sesama jenis
(homoseksual/lesbian), berhubungan seks dengan lawan jenis (heteroseksual) atau
berhubungan dengan lawan jenis dan sesama jenis (biseksual).
Poliklinik IMS Puskesmas Kuta I juga menyediakan
fasilitas pengambilan sampel duh tubuh untuk kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
3. Poliklinik
methdone
Poliklinik metadhone diperuntukan
kepada pasien ketergantungan narkoba suntik dengan penanganan program terapi
rumatan metadon (PTRM) yaitu terapi pengganti morfin/heroin dengan methadone
secara oral sehingga mengurangi dampak buruk akibat narkotika (terutama IDU)
dimana pemakaian narkoba suntik yang tidak aman akan meningkatkan kemungkinan
penyebaran virus penyakit menular seksual yaitu HIV. Selain PTRM poliklinik
metadhone juga memiliki Needle Syringe Program dimana program ini adalah
program pemberian jarum suntik steril dalam upaya pencegahan HIV/AIDS di
kalangan pengguna narkoba suntik. Materi pencegahan di kemas dalam satu paket
berisikan jarum suntik steril, alkohol swab, kondom dan brosur informasi.
Puskesmas Kuta 1 juga melakukan program promosi kesehatan berkala yang bertujuan
untuk meningkatakan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan diri, lingkungan
dan wisatawan demi meningkatkan kualitas pariwisata yang ditawarkan.
2.1.2.
Implementasi/pelaksanaan
program pengembangan Kesehatan Pariwisata oleh Puskesmas Kuta I (Poliklinik
VCT, IMS dan Metadhon)
A.
Jumlah
Kejadian/Kasus Penyakit
1. Poliklinik
VCT
a.
Kunjungan klien
berdasarkan jenis kelamin
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Laki – laki
|
11
|
4
|
23
|
4
|
Perempuan
|
12
|
67
|
25
|
41
|
b.
Jumlah klien
yang diberi konseling lengkap dan menerima hasil berdasarkan factor resiko
|
WPS
|
PPS
|
Waria
|
IDU
|
LSI
|
Pasangan
resti
|
Pelanggan
PS
|
Lain-Lain
|
Jan
|
3
|
0
|
0
|
0
|
3
|
9
|
3
|
5
|
Feb
|
61
|
0
|
0
|
0
|
1
|
4
|
3
|
2
|
Mar
|
12
|
0
|
0
|
0
|
2
|
11
|
16
|
7
|
Apr
|
38
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
11
|
2
|
c.
Jumlah ibu hamil
yang ditawarkan tes HIV
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Testing
|
143
|
61
|
116
|
106
|
HIV (positif)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
d.
Jumlah klien
yang ditawarkan tes HIV berdasarkan
jenis kelamin
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Laki –
laki
|
5
|
3
|
2
|
5
|
Perempuan
|
147
|
65
|
118
|
111
|
e.
Jumlah kasus HIV
positif
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Laki – laki
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Perempuan
|
0
|
0
|
1
|
3
|
2. Poliklinik
IMS
a.
Jumlah kunjungan
pasien berdasarkan jenis kelamin di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta I tahun
2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki – laki
|
9
|
2
|
4
|
Perempuan
|
83
|
55
|
95
|
b.
Jumlah kasus IMS
yang ditemukan berdasarkan jenis kelamin di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta I
tahun 2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki – laki
|
6
|
1
|
2
|
Perempuan
|
2
|
9
|
20
|
c.
Jumlah pasien
IMS yang diobati berdasarkan factor resiko di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta
I tahun 2016
|
WPS
|
PPS
|
Waria
|
IDU
|
LSI
|
Pasangan
resti
|
Klien
|
Lain
Lain
|
Jan
|
4
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
1
|
1
|
Feb
|
5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
0
|
2
|
Mar
|
14
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
0
|
6
|
d.
Jumlah pasien
yang di test syphilis di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta I tahun 2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki –laki
|
1
|
1
|
1
|
Perempuan
|
73
|
44
|
80
|
3. Poliklinik
Metadhon
a.
Jumlah kunjungan
klien ke poliklinik metadhone berdasarkan jenis kelamin di tahun 2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki – laki
|
22
|
22
|
21
|
Perempuan
|
3
|
4
|
4
|
b.
Capaian klien
aktif ke poliklinik metadhone tahun 2016:
1)
Januari : 25 orang
2)
Februari : 26 orang
3)
Maret : 25 orang
B.
Prinsip
dan Mekanisme Penanganan Kasus (Rencana dan Implementasi)
1.
Pelayanan
VCT dan TIPK Di UPT Puskesmas I Kuta
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 21 tahun 2013 disebutkan bahwa pemeriksaan
diagnosis HIV dilakukan melalui VCT dan TIPK (Tes Inisiatif Pemberi Pelayanan
Kesehatan dan Konseling). Voluntary Counseling Test (VCT) adalah proses
konseling pra testing, testing, dan konseling post testing secara sukarela yang
bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status
HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat
testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV
yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti
& menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan. Dapat
dikatakan, Voluntary Counseling Test (VCT): Merupakan pintu masuk penting untuk
pencegahan dan perawatan HIV yang merupakan sebuah dialog yang terjaga
kerahasiaan antara konselor dan klien yang bertujuan untuk:
1. Membantu
orang mengetahui statusnya lebih dini, menekankan kepada aspek perubahan
perilaku, peningkatan kemampuan menghadapi stress, ketrampilan pemecahan
masalah.
2. Menekankan
pada issue HIV terkait seperti bagaimana hidup dengan HIV, Pencegahan HIV ke
pasangan, dan issue-issue HIV yang berkelanjutan. Konseling pra tes dilakukan
dengan tatap muka atau tidak tatap muka dan dapat dilaksanakan bersama pasangan
( couple counseling ) atau dalam kelompok ( group counseling ), sedangkan
konseling pasca tes harus dilakukan dengan tenaga kesehatan atau konselor
terlatih. VCT hanya dapat dilakukan bila pasien memberikan persetujuan secara
tertulis.
TIPK adalah tes HIV dan konseling yang
dilakukan kepada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan
berdasarkaninisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan. Adapun langkah langkah
yang dapat dilakukan meliputi : pemberian informasi tentang HIV dan AIDS,
pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes dan konseling. Tes HIV pada
TIPK tidak dapat dilakukan bila pasien menolak secara tertulis. TIPK harus
dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan bagi :
1. Setiap
orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga
telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberculosis
dan IMS
2. Asuhan
antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Bayi
yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV
4. Anak-anak
dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi luas, atau
anak dengan malnutrisi yang tidak ada respon yang baik dengan pengobatan
nutrisi yang adekuat
5. Laki-laki
dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.
Salah satu tempat untuk mengetahui
status HIV dapat dilakukan diKlinik VCT Rijasa UPT. Puskesmas Kuta I.Klinik ini
didirikan pada tanggal 1 Desember 2008 yang bertujuan untuk membantu program
penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kuta khususnya dan kabupaten Badung
umumnya. Kegiatan yang dilakukan di klinik VCT Rijasa meliputi pelayanan dalam
gedung dan pelayanan luar gedung. Pelayanan dalam gedung mencakup pemeriksaan
yang dilakukan ke pasien yang datang mandiri atau dengan rujukan dari petugas
penjangkau/lapangan. Konseling HIV dilakukan oleh tujuh orang konselor terlatih. Dalam menegakkan
diagnosis HIV, dilakukan pemeriksaan darah di pemeriksaan laboratorium UPT.
Puskesmas Kuta I dengan menggunakan cara Rapid Test.Dan hasil pemeriksaan dapat
ditunggu saat hari tersebut. Bila hasil pemeriksaan darah menunjukkan hasil HIV
positif, maka pasien akan dirujuk ke rumah sakit atau klinik swasta untuk
mendapatkan pengobatan selanjutnya. Disamping itu pasien juga akan dikenalkan
dengan LSM gunamendapatkan dukungan psikososial.
Sedangkan pelayanan luar gedung
dilakukan dalam bentuk kegiatan mobile klinik dengan menjangkau tempat resiko
tinggi tertular HIV dan AIDS yang mana seseorang yang berriseko tertular HIV
belum sempat datang ke layanan kerena terkendala dengan waktu.Tempat yang dikunjungi
seperti Kafe, Bar, karaoke, Salon, Panti pijat, Lokalisasi, serta Bedeng
proyek. Hasil pemeriksaan akan dibawakan ke tempat masing-masing sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan. Dalam kegiatan mobile klinik ini memerlukan
kerjasama antara LSM, KPA dan dinas kesehatan.
2.
Poliklinik Infeksi Menular Seksual
Penatalaksanaan pasien IMS yang efektif,
tidak terbatas hanya pada pengobatanantimikroba untuk memperoleh kesembuhan dan
menurunkan tingkat penularannamun juga memberikan pelayanan paripurna yang
dibutuhkan untuk mencapaiderajat kesehatan reproduksi yang baik.Komponen
penatalaksanaan IMS meliputi:
-
Anamnesis tentang
riwayat infeksi/ penyakit
-
Pemeriksaan
fisik dan pengambilan spesimen/bahan pemeriksaan
-
Diagnosis
yang tepat
-
Pengobatan
yang efektif
-
Nasehat
yang berkaitan dengan perilaku seksual
-
Penyediaan
kondom dan anjuran pemakaiannya
-
Penatalaksanaan
mitra seksual
-
Pencatatan
dan pelaporan kasus
-
Tindak
lanjut klinis secara tepat
a. Anamnesis
Anamnesis
dapat dilakukan oleh tenaga medis atau pun paramedis, bertujuan untuk:
1) Menentukan
faktor risiko pasien
2) Membantu
menegakkan diagnosis sebelum dilakukan pemeriksaan fisikmaupun pemeriksaan
penunjang lainnya
3) Membantu
mengidentifikasi pasangan seksual pasien
Agar tujuan anamnesis tercapai,
diperlukan keterampilan melakukan komunikasiverbal (cara kita berbicara dan
mengajukan pertanyaan kepada pasien) maupunketrampilan komunikasi non verbal
(keterampilan bahasa tubuh saat menghadapipasien).Sikap saat melakukan
anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan, yaitu:
1) Sikap
sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi
2) Menciptakan
suasana yang menjamin privasi dan kerahasiaan, sehinggasebaiknya dilakukan
dalam ruang tertutup dan tidak terganggu oleh aktivitas keluarmasukpetugas
3) Dengan
penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan pasien,jangan sambil
menulis saat pasien berbicara dan jangan memutuskanpembicaraannya.
4) Gunakan
keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian anamnesismenggunakan
pertanyaan terbuka, dan mengakhiri dengan pertanyaan tertutup.Pertanyaan
terbuka memungkinkan pasien untuk memberikan jawaban lebihpanjang sehingga
dapat memberikan gambaran lebih jelas, sedangkanpertanyaan tertutup adalah
salah satu bentuk pertanyaan yang mengharapkanjawaban singkat, sering dengan
perkataan “ya” atau “ tidak”, yang biasanyadigunakan untuk lebih memastikan hal
yang dianggap belum jelas.
5) Gunakan
keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya denganmemfasilitasi,
mengarahkan, memeriksa, dan menyimpulkan, sambilmenunjukkan empati, meyakinkan
dan kemitraan.
Informasi yang perlu ditanyakan kepada
pasien:
1) Keluhan
utama
2) Keluhan
tambahan
3) Riwayat
perjalanan penyakit
4) Siapa
menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks,teman, pacar,
suami/isteri
5) Kapan
kontak seksual tersangka dilakukan
6) Jenis
kelamin pasangan seksual
7) Cara
melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital)
8) Penggunaan
kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9) Riwayat
dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukandokter/sendiri)
10) Hubungan
keluhan dengan keadaan lainnya-menjelang/sesudah haid;kelelahan fisik/psikis;
penyakit: diabetes, tumor, keganasan, lain-lain);penggunaan obat: antibiotika,
kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian alatkontrasepssi dalam rahim (AKDR);
rangsangan seksual; kehamilan; kontakseksual
11) Riwayat
IMS sebelumnya dan pengobatannya
12) Hari
terakhir haid
13) Nyeri
perut bagian bawah
14) Cara
kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan
Untuk menggali faktor risiko perlu
ditanyakan beberapa hal tersebut di bawah ini.Berdasarkan penelitian faktor
risiko oleh WHO (World Health Organization) dibeberapa negara (di Indonesia
masih belum diteliti), pasien akan dianggapberperilaku berisiko tinggi bila
terdapat jawaban “ya” untuk satu atau lebihpertanyaan di bawah ini:
1) Pasangan
seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir
2) Berhubungan
seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir
3) Mengalami
1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir.
4) Perilaku
pasangan seksual berisiko tinggi.
b.
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik terutama
dilakukan pada daerah genitalia dan sekitarnya, yangdilakukan di ruang periksa
dengan lampu yang cukup terang. Lampu sorot tambahandiperlukan untuk
pemeriksaan pasien perempuan dengan spekulum. Dalam pelaksanaan sebaiknya
pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain. Padapemeriksaan
terhadap pasien perempuan, pemeriksa didampingi oleh paramedisperempuan,
sedangkan pada pemeriksaan pasien laki-laki, dapat didampingi olehtenaga
paramedis laki-laki atau perempuan. Beri penjelasan lebih dulu kepada
pasienmengenai tindakan yang akan dilakukan:
1) Pada
saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya, pemeriksa
harusselalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa mencuci tangan sebelum
dansesudah memeriksa.
2) Pasien
harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan pemeriksaangenitalia (pada
keadaan tertentu, kadang–kadang pasien harus membuka seluruhpakaiannya secara
bertahap).
a) Pada pasien perempuan
(1) Pasien diperiksa dengan
berbaring pada meja ginekologikdalam posisi litotomi.
Gambar 2.1. Posisi Litotomi
(2) Pemeriksa duduk dengan nyaman ambil melakukan
inspeksi danpalpasi mons pubis, labia, dan perineum
(3) Periksa
daerah genitalia luar dengan memisahkan ke dua labia,perhatikan adakah
kemerahan, pembengkakan, luka/lecet, massa,atau duh tubuh.
b) Pada pasien laki-laki
(1) Pemeriksaan
pasien laki-laki dapat dilakukan sambil duduk/ berdiri.
(2) Perhatikan
daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta daerahskrotum
(3) Perhatikan
adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet atau lesi
3)
Lakukan inspeksi
dan palpasi pada daerah genitalia, perineum, anus dan sekitarnya.
4)
Jangan lupa
memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran kelenjargetah bening
setempat (regional)
5)
Bilamana
tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan pengambilan
bahanpemeriksaan.Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan
untuk tidakberkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum pemeriksaan.
c. Pengambilan
Spesimen
Pasien laki-laki dengan gejala duh tubuh
uretra
1) Beri
penjelasan lebih dahulu agar pasien tidak perlu merasa takut saatpengambilan
bahan duh tubuh gentalia dengan lidi
kapas.
2) Masukkan
lidi kapas ke dalam orifisium
uretra eksterna sampai kedalaman1-2 cm, putar swab dan tarik keluar
perlahan-lahan
3) Oleskan
duh tubuh ke atas kaca obyek yang sudah disiapkan
4) Bila
tidak tampak duh tubuh uretra dapat dilakukan pengurutan (milking) olehpasien.
Pasien perempuan dengan duh tubuh vagina
Pasien
perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan pemeriksaan denganspekulum
serta pengambilan spesimen
1) Beri
penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan agarpasien tidak
merasa takut
2) Bersihkan
terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi larutan NaCl
3) Setiap
pengambilan bahan harus menggunakan spekulum
vagina steril (sesuaikanukuran spekulum, biasanya ukuran speculum sesuai dengan berat badan
pasien dan riwayat kelahiran pervaginam), swab atau
sengkelitsteril
4) Masukkan
daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan posisitegak/vertikal ke
dalam vagina, dan setelah seluruhnya masuk kemudian putarpelan-pelan sampai daun
spekulum dalam posisi datar/horizontal. Bukaspekulum dan dengan bantuan lampu
sorot vagina cari serviks. Kuncispekulum pada posisi itu sehingga serviks
terfiksasi
5) Setelah
itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan pengambilanspesimen
a) Dari
serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa steril, kemudianambil
spesimen duh tubuh serviks dengan swab steril untuk pembuatan sediaan hapus,
dengan swab yang laindibuat sediaan
biakan,
b) Dari
forniks posterior: dengan swab steril untukpembuatan sediaan basah, dan lakukan
tes amin
c) Dari
dinding vagina: dengan kapas lidiuntuk sediaanhapus
d) Dari
uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
6) Cara
melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga spekulumdalam posisi
tertutup, putar spekulum 90o sehingga daun spekulum dalam
posisitegak, dan keluarkan spekulum perlahan-lahan.
Pada
pasien perempuan berstatus belum menikah tidak dilakukan pemeriksaan
denganspekulum, karena akan merusak selaput daranya sehingga bahan pemeriksaan
hanyadiambil dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra. Untuk pasien
perempuan yangbelum
menikah namun sudah aktif berhubungan seksual, diperlukan informed consentsebelum
melakukan pemeriksaan dengan spekulum. Namun bila pasien menolakpemeriksaan
dengan spekulum, pasien ditangani menggunakan bagan alur tanpaspekulum.
d. Pemeriksaan
Anaskopi
1) Indikasi
Bila terdapat keluhan
atau gejala pada anus dan rektum, pasien dianjurkan untukdiperiksa dengan
anoskopi bila tersedia alat tersebut. Pemeriksaan ini sekaligus dapatmelihat
keadaan mukosa rektum atau pengambilan spesimen untuk pemeriksaanlaboratorium
bila tersedia fasilitas.
2) Kontra
indikasi
Anus imperforata
merupakan kontra indikasi absolut untuk tindakan anoskopi, namunbila pasien
mengeluh mengenai nyeri hebat pada rektum, may preclude awakeanoscopic
examination in anxious patients in pain.
3) Posisi
pasien
Pasien berbaring dalam
posisi Sim atau miring dengan lutut ditekuk serta pinggul45o. Posisi
pasien di sebelah kiri pemeriksa.
Gambar
2.2. Posisi lateral decubitus atau posisi Sim.Pasien tidak perlu membuka
seluruh baju sepertipada gambar, namun cukup membuka celananyasampai nampak
daerah anus.
4)
Prosedur
a)
Sebelum melakukan
pemeriksaan anoskopi, lakukan inspeksi daerah anus dansekitarnya, kemudian
lakukan pemeriksaan rektum dengan jari tangan (digital rectalexamination)
b)
Bila menggunakan
anoskopi dengan bagian obturator yang dapat dilepaskan,pastikan bahwa obturator
telah terpasang dengan benar
c)
Beri pelumas sepanjang
badan anoskop dengan pelumas standard atau lidokain
d)
Masukkan anoskop
secara perlahan, dengan sedikit tekanan untuk melawantahanan
akibat kontraksi otot sfingter anus eksterna. Terus dorong alat anoskopsampai
mencapai anorektum.
e)
Bila obturator
terdorong mundur saat insersi, lepaskan anoskop seluruhnya danganti obturator
untuk mencegah mukosa anus terjepit bila obturator dimasukkanbelakangan.
f)
Dorong terus anoskop
sampai batas luar anoskopi mengenai pinggiran anus.
g)
Kecuali alat anoskop
dilengkapi dengan lampu, dapat digunakan sumberpenerangan dari luar, misalnya
lampu senter atau lampu untuk pemeriksaan pelvis.
h)
Bila anoskop sudah
masuk dengan sempurna, tarik obturator keluar.
i)
Sambil menarik anoskop
perlahan-lahan, perhatikan saluran anus. Adakahperdarahan anus proksimal dari
jangkauan anoskop. Hapus darah atau debrissehingga lapang pandang lebih baik,
dan bila ditemukan duh tubuh dapatdilakukan biakan.
j)
Setelah seluruh lingkar
mukosa anus diinspeksi, pelan-pelan tarik anoskop.Perhatikan sumber nyeri atau
perdarahan di daerah distal, misalnya hemoroid,fisura rektum, ulkus, abses,
atau robekan.
k)
Mendekati tahap akhir
penarikan, hati-hati terhadao refleks spasme sfingkter anusyang dapat
menyebabkan anoskop terlempar. Gunakan tekanan yang agak kuatuntuk mencegah
anoskop melejit keluar.
3.
Program Terapi Rumatan Methadone
Program
Terapi Rumatan Methadone (PTRM) adalah program yang bertujuan membantu pecandu
narkotika khususnya opioid untuk berhenti menggunakan atau mengurangi dampak
buruk dari penyalahgunaan opioid. Latar belakang didirikannya klinik methadone
ini karena penyalahgunaan narkotika di Indonesia semakin hari semakin marak.
Dengan maraknya penyalahgunaan narkotika tersebut maka dampak buruknya pun
semakin meluas. Salah satu dampak buruk dari penyalahgunna narkotika khususnya
narkotika suntik adalah penyebaran HIV/AIDS dikalangan pengguna maupun yang
bukan pengguna seperti istri/suami/pasangan dan anak si pengguna. Seperti yang
kita telah ketahui penyakit HIV/AIDS masih merupakan ancaman global dan belum
ditemukan pengobatan yang memuaskan. Sehingga sangatlah penting untuk mencegah
penularannya. Salah satu upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS terutama dari
kalangan pengguna narkotika suntik (penasun) adalah dengan program harm
reduction atau program pengurangan dampak buruk akibat penggunaan narkotika
suntik. Terdapat beberapa cara penanggulangan dan salah satunya adalah terapi
substitusi dengan pemberian metadon.
Terapi
substitusi yang sering kita kenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM) ini adalah terapi yang bertujuan mengganti penggunaan zat seperti heroin
atau morfin dengan metadon. Metadon adalah suatu zat yang secara kimiawi
termasuk dalam golongan opioid sama halnya dengan heroin ataupun morfin.
Metadon berfungsi menekan susunan saraf pusat dan mempunyai efek penghilang
rasa sakit yang kuat. Walaupun segolongan dan bekerja dengan cara yang sama
tetapi metadon memiliki beberapa perbedaan dengan morfin atau heroin dimana
metadon mudah dicerna secara oral (diminum) berbeda dengan golongan opioid lain
yang tidak memiliki sifat itu sehingga harus digunakan dengan cara disuntikkan
untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Sehingga dengan penggunaan metadon
sebagai terapi pengganti jenis opioid suntik yang lain maka akan mengurangi
penggunaan narkotika suntik dan pada akhirnya akan dapat menurunkan angka
kejadian HIV/AIDS. Berbeda dengan heroin atau morfin klien yang beralih ke
metadon dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih stabil. Selain
karena penggunaanya yang cukup diminum sekali sehari juga karena efek yang
diharapkan dari penggunaan metadon bukanlah efek-efek seperti pada penggunaan
heroin atau morfin. hal inilah yang menyebabkan klien metadon dapat lebih aktif
dalam kehidupan sehari-hari sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Hal lain tentang terapi metadon adalah biaya terapi yang relatif murah bila
dibandingkan dengan penggunaan narkotika suntik.
Terdapat
beberapa tahapan dalam terapi rumatan metadon. Tahap awal adalah tahap
penentuan apakah seseorang klien bisa atau tidak masuk dalam PTRM. Terdapat
beberapa kriteria inklusi dan ekslusi diantaranya adalah:
a.
Kriteria inklusi
1)
Harus memenuhi kriteria
ICD-X untuk ketergantungan opioid
2)
Usia 18 tahun atau
lebih, jika belum 18 tahun harus mendapat second opinion dari profesional medis
lain
3)
Mengalami
ketergantungan opioid dalam jangka waktu 12 bulan terakhir
4)
Sudah pernah mencoba
berhenti menggunakan opioid minimal satu kali
b. Kriteria
eksklusi
1) Klien
dengan penyakit fisik yang berat
2) Psikosis
yang jelas
3) Retardasi
mental
Tahap selanjutnya adalah pemberian
konseling terutama konseling tentang adiksi dan membuat rencana perawatan.
Tahap terapi rumatan metadon sendiri terbagi dalam 4 tahap yaitu tahap
pemberian dosis awal, fase stabilisasi, fase rumatan dan fase reduksi. Pada
fase pemberian dosis awal dimulai dengan dosis yang sangat rendah yaitu 15-30
mg perhari untuk kemudian pada fase stabilisasi dosis dinaikkan bertahap 5-10
mg setiap 3-5 hari. Pasien dikatakan mencapai dosis rumatan atau pemeliharan
apabila dengan dosis hariannya pasien/klien telah merasa stabil baik secara emosional,
pekerjaan dan kehidupan sosial. Rata-rata dosis rumatan bervariasi antara
60-120 mg per harinya tetapi sangat bervariasi pada masing-masing individu.
Fase rumatan tersebut dapat berlangsung selama bertahun-tahun hingga klien
merasa benar-benar stabil. Fase penghentian metadon atau fase reduksi juga
dilakukan secara bertahap. Tahap penghentian dapat dimulai apabila klien telah
dalam keadaan stabil, minimal 6 bulan dalam keadaan bebas heroin, dan pasien
dalam keadaan stabil untuk bekerja dan dalam lingkungan rumah. Penurunan dosis
maksimal sebanyak 10 % dan penurunan dosis yang direkomendasikan adalah setiap
2 minggu. Dalam menjalani terapi klien akan secara berkala dipantau
kesehatannya dan diberikan konseling secara berkala pula. Dalam terapi rumatan
metadon terkadang timbul beberapa efek samping seperti konstipasi (sembelit),
mengantuk, berkeringat, mual, muntah, gangguan fungsi seksual, gatal dan juga
jerawat. Metadon diberikan kepada klien dalam bentuk cair dan dalam
pemberiannya dicampur dengan sirup hingga mencapai 100 cc untuk mengurangi rasa
pahit. Setelah mengkonsumsi metadon klien akan diberikan permen untuk dikunyah
tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah air liur dan sehingga mengurangi
efek samping kerusakan pada gigi.
Program terapi rumatan metadon di Bali
pertama kali diadakan di RSUP Sanglah.
Lalu kemudian seiiring meningkatnya jumlah klien yang ingin menjalani terapi
substitusi dengan metadom maka dibangunlah satelit-satelit pelayanan metadon.
Salah satunya PTRM Puskesmas Kuta I. Program terapi rumatan metadon yang
berdiri sejak 5 september 2006 ini hingga saat ini memiliki 28 orang klien yang
secara rutin aktif memperoleh terapi substitusi metadon setiap harinya.
Sedangkan klien yang teregistrasi dari awal berdiri sebanyak 369 orang. PTRM
Kuta I dipilih karena mudahnya akses bagi para klien yang kebanyakan bekerja
dan bermukim di daerah Kuta sehingga mereka tidak harus menempuh jarak yang
jauh untuk mendapatkan metadon dan secara otomatis akan meningkatkan kepatuhan
mereka dalam menjalani terapi metadon dan pada akhirnya akan berimbas pada
membaiknya kualitas hidup mereka. Selain pemberian metadon, PTRM Puskesmas Kuta
I juga menyediakan layanan konseling, VCT, pemeriksaan fisik, laboratorium,
penyedian jarum suntik steril dan kondom. Mengingat begitu banyaknya keunggulan
metadon dibandingkan penggunaan narkotika suntik lain seperti heroin dan morfin
maka tidak salah jika terapi subtitusi ini merupakan pilihan dan begitu
diminati. Suatu terapi substitusi yang aman, murah dan membuat penggunanya
dapat hidup dengan lebih baik.
C.
Evaluasi
dan Rencana Tindak Lanjut Penanganan Kasus
Di Puskesmas Kuta I menangani setiap
pasien yang mengalami masalah dengan cara selalu mengingatkan pasien untuk
rajin control agar para staf bisa memantau mereka secara menyeluruh hingga
mereka sembuh secara total. Sedangkan
untuk pasien yang memerlukan penganganan lebih lanjut pasien biasanya dirujuk
ke RSUD Badung.
2.1.3.
Masalah
atau Kendala-Kendala yang Dihadapi Puskesmas Kuta I dalam Penatalaksanaan
Program Pengembangan Kesehatan Pariwisata
dr. Yani mengungkapkan secara umum kendala yang
dihadapi Puskesmas Kuta I dalam penatalaksanaan program pengembangan kesehatan
pariwisata adalah terbatasnya tenaga kerja (sumber daya manusia) dan berikut
ini adalah kendala yang dialami pada poliklinik VCT, IMS serta metadhone di
Puskesmas Kuta I.
1. Poliklinik
VCT
a. Keterjangkauan
obat
b. Tidak
teraturnya minum obat dari pihak pasien
c. Pasien
yang mengalami alergi terhadap beberapa jenis obat
2.
Poliklinik Methadone
a.
Keterjangkauan jarak
b.
Tidak adanya wali untuk mengurus
klien
c.
Klien tersandung kasus sehingga
membuat pengobatan terhenti sementara
d.
Hilangnya obat
e.
Biaya pengobatan
f.
Masih menggunakan obat-obatan yang
lain
g.
Susah memberikan pengertian tentang
pemberian dosis
3.
Poliklinik IMS
a.
Pasien tidak mau terbuka tentang
masalah atau penyakit yang dialaminya
b.
Pasien tidak mau jujur
c.
Tenaga kesehatan terbatas
d.
Pasien tidak siap dalam
Pemeriksaan atau pengobatan
e.
Pasien menghentikan pengobatan
karena menganggap dirinya sudah sembuh
BAB III
HASIL DAN HAMBATAN
3.1. Hasil
Puskesmas Kuta 1
sebagai salah satu puskesmas wisata yang ada di Bali yang terletak di Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung merupakan sebuah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab terhadap pembangunan
kesehatan pariwisata di wilayah kerjanya.
Melaluikegiatan kunjungan
ini penulis memperoleh pengalaman baru di bidang
pelayanan kesehatan masyarakat khususnya
dalam hal ini terkait dengan peran tenaga kesehatan dalam mendukung kesehatan
pariwisata serta dapat melihat dan mempelajari lebih
banyak tentang kegiatan yang dilakukan di Puskesmas Kuta 1. Berbeda dengan puskesmas pada umumnya, Puskesmas Kuta
1 memiliki beberapa pelayanan, diantaranya:
1.
Loket dan Ruang tunggu pasien
2.
Poliklinik IMS
3.
Unit Gawat Darurat UGD
4.
Poliklinik umum
5.
Poliklinik KIA
6.
Poliklinik KB
7.
Poliklinik VCT
8.
Program Terapi Rumatan Methadone
9.
Laboratorium
Diantara sekian pelayanan yang tersedia, tiga
poliklinik yang tidak selalu ada di puskesmas lain di Bali yaitu poliklinik
VCT, poliklinik IMS dan poliklinik methadone yang memiliki peran penting dalam
menanggulangi penyakit-penyakit yang angka kejadiannya tinggi di daerah
pariwisata yang memiliki karakteristik mobilitas penduduk tinggi, banyaknya
penduduk pendatang dan mata pencaharian masyarakat sekitar terutama di bidang
perdagangan dan jasa.Ketiga poliklinik tersebut adalah sebagai penanganan
tingkat dasar terhadap penyebaran penyakit khususnya penyakit menular seksual.
Selain program
dan pelayanan yang berada di dalam ruangan, Puskesmas Kuta I juga memiliki pelayanan
luar gedung yang dilakukan
dalam bentuk kegiatan mobile klinik dengan menjangkau tempat resiko tinggi
tertular HIV dan AIDS yang mana seseorang yang berriseko tertular HIV belum
sempat datang ke layanan kerena terkendala dengan waktu.Tempat yang dikunjungi
seperti Kafe, Bar, karaoke, Salon, Panti pijat, Lokalisasi, serta Bedeng
proyek. Hasil pemeriksaan akan dibawakan ke tempat masing-masing sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan. Dalam kegiatan mobile klinik ini memerlukan
kerjasama antara LSM, KPA dan dinas kesehatan.
3.2. Hambatan
Adapun hambatan yang penulis alamai baik dalam proses kegiatan kunjungan
ataupun proses penyusunan laporan kegiatan, diantaranya:
1.
Keterbatasan waktu
dalam penyampaian materi oleh narasumber serta proses
diskusi, sehingga penulis/mahasiswa belum sepenuhnya mengerti tentang materi
yang disampaikan sehingga laporan yang penulis buat
tidak maksimal dan terperinci.
2.
Keterlambatan staf datang
ke puskesmas membuat penulis/mahasiswa menunggu dan membuang waktu untuk mengumpulkan
data.
3.
Kurangnya koordinasi
antara pihak kampus dengan puskesmas terkait dengan kegiatan kunjungan dan
acara di puskesmas tersebut. Hal ini mengakibatkan, kegiatan yang sebelumnya
telah direncanakan seperti penjajakan ke poliklinik yang ada di Puskesmas Kuta
I harus dibatalkan karena adanya kesibukan/kegiatan lain yang harus dijalankan
oleh pihak puskesmas, sehingga penulis/mahasiswa hanya mendengarkan penyampaian
materi di ruang pertemuan saja.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil kunjungan dan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa di Puskesmas
Kuta I tersediatiga poliklinik yang tidak selalu ada di
puskesmas lain di Bali yaitu poliklinik VCT, poliklinik IMS dan poliklinik
methadone yang memiliki peran penting dalam menanggulangi penyakit-penyakit
yang angka kejadiannya tinggi di daerah pariwisata yang memiliki karakteristik
mobilitas penduduk tinggi, banyaknya penduduk pendatang dan mata pencaharian
masyarakat sekitar terutama di bidang perdagangan dan jasa.
Ketiga poliklinik
tersebut adalah sebagai penanganan tingkat dasar terhadap penyebaran penyakit
khususnya penyakit menular seksual.Poliklinik
VCT merupakan klinik yang khusus menangani dan memberi konseling pada para
penderita HIV AIDS. Poliklinik IMS merupakan poklinik yang khusus menangani dan memberi
konseling pada para penderita penyakit menular seksual. Sedangkan poliklinik methadone
merupakan poliklinik
yang khusus menangani dan memberi konseling pada para penderita yang pecandu
narkotika jenis heroin.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran 01
Profil Puskesmas Kuta I
Lampiran 02
Pemaparan materi
Pemaparan
materi oleh dr. Yani
Pemaparan
materi oleh petugas poliklinik IMS
Lampiran 03
Gambaran Kunjungan Klien di Puskesmas Kuta I
Lampiran 04
Langkah-langkah pemasangan speculum vagina
Lampiran 05
Pemeriksaan anaskopi
Gambar alat
pemeriksaan anaskopi
Langkah-langkah
pemeriksaan anaskopi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri
pariwisata berkembang dengan sangatpesat dan menjadi sumber devisa yang besar
bagi Indonesia. Seiring denganperkembangan tersebut, perhatian terhadap aspek-aspek
yang berkaitan denganpariwisata seperti infrastruktur, keamanan, kesehatan dan
konservasi lingkungan jugaperlu ditingkatkan.
Sehubungan dengan program “Visit
Indonesia Year 2008”, tepatlah saat iniuntuk membahas tentang kesehatan dalam
pariwisata di Indonesia, gunameningkatkan kesadaran providers (pemberi layanan
pariwisata maupun petugaskesehatan) dan masyarakat untuk memperbaiki mutu
pelayanan dan upayapencegahan penyebaran peyakit, sehingga dapat meningkatkan
kualitas pariwisataIndonesia. Selayaknyalah tempat tujuan wisata menjadi tempat
yang menawarkanpengalaman menarik yang ditunjang oleh kualitas lingkungan yang
sehat denganmenjauhkan semua faktor resiko kesehatan.
Bali merupakan salah satu pulau tujuan
wisata yang terkenal di dunia. Jumlah kunjungan wisatawan ke Bali dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah kunjungan tersebut
menuntut pemerintahan provinsi Bali untuk mendukung segala aspek yang
berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan sektor pariwisata.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian
dalam mendukung pariwisata di Bali adalah aspek kesehatan, dimana program
pemerintah provinsi Bali adalah menjalin kerjasama lintas sektoral antara
sektor pariwisata dan sektor kesehatan dengan mengembangkan puskesmas wisata. Puskesmas
wisata merupakan sebuah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
yang bertanggungjawab terhadap pembangunan kesehatan pariwisata di wilayah
kerjanya. Salah satu Puskesmas wisata yang ada di Bali adalah Puskesmas Kuta I
yang terletak di kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
Untuk itu Program Studi Diploma III Keperawatan STIKES Bali memprakarsai
sebuah kunjungan lapangan yang menjadi
salah satu angenda pembelajaran mahasiswa DIII Keperawatan STIKES Bali selain
melakukan proses belajar mengajar dikelas. Berangkat dari trend isue tersebut
diatas maka pada tanggal 29 April 2016 mahasiswa tingkat II semester IV kelas A
program studi DIII Keperawatan melakukan kunjungan lapangan ke Puskesmas Kuta I
untuk melihat dan mempelajari lebih banyak tentang kegiatan yang dilakukan di
Puskesmas Kuta I.
1.2. TUJUAN KEGIATAN
Adapun tujuan diadakannya
kegiatan ini yaitu untuk mengetahui program pengembangan Puskesmas Kuta I
Kesehatan dalam kesehatan pariwisata meliputi:
1) Peran
Puskesmas Kuta Idalam Kesehatan pariwisata
2) Implementasi/pelaksanaan
program pengembangan kesehatan pariwisata oleh Puskesmas Kuta I (poliklinik
VCT, IMS dan metadhon)
3) Masalah
atau kendala-kendala yang dihadapi Puskesmas Kuta I dalam penatalaksanaan program
pengembangan kesehatan pariwisata.
1.3.MANFAAT KEGIATAN
Melalui kegiatan kunjungan ke Puskesmas Kuta I,
diharapkan mahasiswa Stikes Bali memperoleh pengalaman baru di bidang pelayanan
kesehatan masyarakat, dengan demikian niscaya kualitas tenaga perawat Indonesia di masa yang akan
datang dapat setara dengan kualitas perawat di negara-negara maju.
BAB II
ISI
2.1.
PROGRAM
PENGEMBANGAN PUSKESMAS KUTA I: KESEHATAN PARIWISATA
2.1.1.
Peran
Puskesmas Kuta I dalam Kesehatan Pariwisata
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Kepmenkes RI, 2014b). Puskesmas
sebagai layanan kesehatan primer dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia
digolongkan dalam strata I. Sebagai provider pemberi layananan kesehatan primer
dalam perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS, puskesmas memiliki tugas,
fungsi, sumber daya manusia serta kompetensi yang disesuaikan dengan golongan
strata satu.
Dalam rangka mendukung Visit Indonesia
Year 2008, sektor kesehatan sangatpenting untuk diperhatikan. Perhatian yang
diberikan harus tetap mempertimbangkan bidangmana di kesehatan atau instansi
mana di sektor kesehatan yang patut diajak bekerjasamaagar sektor pariwisata
terus berkembang dan maju didukung oleh meningkatnya sektorkesehatan di negara
ini.
“Peran Puskesmas Wisata DalamMendukung
Visit Indonesia Year 2008”, dengan beberapa alasan diantaranya :
1. Dalam
era reformasi, puskesmas berubah menjadi puskesmas era desentralisasi
denganberbagai perubahan. Perubahan signifikannya adalah adanya basic six dan
programkesehatan pengembangan, yang memungkinkan puskesmas untuk
menyelenggarakanprogram kesehatan pengembangan sesuai dengan situasi, kondisi
dan kultur setempat.Khususnya di Bali dan Indonesia pada umumnya bagi puskesmas
yang berada di daerahpariwisata yang tinggi kunjungan wisatanya dapat
mengembangkan puskesmas wisata,yang melayani wisatawan apabila wisatawan
mengalami masalah kesehatan.
2. Mencegah
fatalnya kondisi kesehatan wisatawan yang disebabkan oleh kecelakaan
ataupenyakit lainnya di tempat wisata, sehingga memerlukan penanganan awal di
puskesmassebelum dirujuk ke pelayanan kesehatan lainnya apabila diperlukan.
3. Meningkatkan
tingkat kepuasan wisatawan selama berada di daerah wisata karenawisatawan mampu
menikmati tempat wisata dengan keindahan alam atau lingkunganyang bersih,
nyaman dan sehat. Ini terjadi karena sudah menjadi tugas puskesmas untuktetap
menggerakkan masyarakat dalam pemberdayaan maupun partisipasi masyarakatuntuk
menjaga dan meningkatkan kesehatan lingkungan. Mengingat 35,10 % wismanpunya
kesan bahwa lingkungan Bali masih kotor (Pitana dan Gayatri, 2005).
4. Meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat setempat, karena puskesmas mempunyaitugas untuk
tetap melakukan promosi kesehatan demi terjadinya perubahanpengetahuan, sikap
dan prilaku masyarakat yang mengarah ke PHBS.
5. Bila
PHBS terjadi di masyarakat, maka masyarakat tidak lagi menjadi sumber
masalahkesehatan, termasuk munculnya penyakit-penyakit menular seperti diare,
DHF, fluburung, HIV-AIDS, tuberculosis dan lain-lain. Akhirnya wisatawanpun
merasa amanberkunjung ke daerah wisata termasuk melakukan wisata desa seperti
misalnya desawisata yang ada di Bali (Desa Penglipuran, Jati Luih, Lovina dan
TengananPegringsingan).
6. Dengan
meningkatnya PHBS di masyarakat, dengan sendirinya wisatawan juga terhindardari
risiko tertular penyakit khsusnya penyakit menular yang menyerang
penduduksetempat. Karena dalam berwisata akan selalu terjadi interaksi baik
antara lingkungandengan manusia (wisatawan/masyarakat dengan lingkungan) maupun
manusia denganmanusia (wisatawan dengan masyarakat setempat).
7. Pada
akhirnya puskesmas akan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
diwilayah kerjanya, serta menjadi panutan bagi puskesmas lainnya dalam
rangkamencapai Indonesia Sehat 2010.
Tujuan pembangunan
kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Kuta I adalah untuk mendukung
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal diwilayah
kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
rangka mewujudkan Indonesiam Sehat.
UPT. Puskesmas Kuta I, memiliki fungsi
untuk mendukung visi dan misi yang telah ditetapkan. UPT. Puskesmas Kuta I
memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
2. Pusat pemberdayaan masyarakat
3. Pusat
pelayanan kesehatan strata pertama, yaitu: pelayanan kesehatan dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
Untuk melaksanakan fungsi tersebut,
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional, maka dilaksanakan
18 kegitan pokok puskesmas, pembinaan peran serta masyarakat, kerja sama dengan
lintas sektoral, dan memberikan pelayanan rawat inap.
Tidak seperti puskesmas pada umumnya,
puskesmas Kuta I memiliki
keunikan tersendiri karena mengingat lokasinya yang terletak di jantung
pariwisata Bali. Selain poliklinik yang melayani pasien dengan penyakit umum
terjadi di masyarakat seperti poliklinik interna, poliklinik gigi, poliklinik
THT dan lainnya, Puskesmas Kuta 1 memiliki 3 poliklinik yang tidak selalu ada
di puskesmas lain di Bali yaitu poliklinik VCT, poliklinik IMS dan poliklinik
methadone yang memiliki peran penting dalam menanggulangi penyakit-penyakit
yang angka kejadiannya tinggi di daerah pariwisata yang memiliki karakteristik
mobilitas penduduk tinggi, banyaknya penduduk pendatang dan mata pencaharian
masyarakat sekitar terutama di bidang perdagangan dan jasa.
Ketiga poliklinik tersebut adalah
sebagai penanganan tingkat dasar terhadap penyebaran penyakit khususnya penyakit
menular seksual, diantaranya:
1. Poliklinik
VCT
Poliklinik VCT melayani pasien
dengan keinginan sendiri melakukan test HIV dengan sebelumnya mendapatkan pre
test konseling sampai dengan merujuk ke rumah sakit pusat apabila ditemukan hasil
uji positif.
2. Poliklinik
IMS
Puskesmas
Kuta I menyediakan poliklinik khusus untuk infeksi menular seksual (IMS) dengan keluhan penyakit seperti cervicitis, sifilis,
GO dan urethritis. Pasien yang positif terdiagnosa penyakit tersebut
selanjutnya akan disarankan untuk melakukan pemeriksaan di poliklinik VCT untuk
early detection terhadap infeksi HIV.
Pelayanan kesehatan diberikan oleh dokter dan
paramedis yang telah terlatih dalam bidang IMS. Dalam hal ini kepandaian
seorang perawat dalam menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari seorang
pasien sangat penting, sehingga dapat mendapatkan
informasi terkait dengan masalah yang dialami pasien. Salah satu informasi awal
yang penting untuk diketahui terkait dengan masalah infeksi menular seksual
adalah tentang gaya hidup atau kebiasaan
pasien dalam berhubungan seks, seperti misalnya tentang partner seks. Partner
seks yang dimaksud disini, apakah pasien berhubungan seks dengan sesama jenis
(homoseksual/lesbian), berhubungan seks dengan lawan jenis (heteroseksual) atau
berhubungan dengan lawan jenis dan sesama jenis (biseksual).
Poliklinik IMS Puskesmas Kuta I juga menyediakan
fasilitas pengambilan sampel duh tubuh untuk kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
3. Poliklinik
methdone
Poliklinik metadhone diperuntukan
kepada pasien ketergantungan narkoba suntik dengan penanganan program terapi
rumatan metadon (PTRM) yaitu terapi pengganti morfin/heroin dengan methadone
secara oral sehingga mengurangi dampak buruk akibat narkotika (terutama IDU)
dimana pemakaian narkoba suntik yang tidak aman akan meningkatkan kemungkinan
penyebaran virus penyakit menular seksual yaitu HIV. Selain PTRM poliklinik
metadhone juga memiliki Needle Syringe Program dimana program ini adalah
program pemberian jarum suntik steril dalam upaya pencegahan HIV/AIDS di
kalangan pengguna narkoba suntik. Materi pencegahan di kemas dalam satu paket
berisikan jarum suntik steril, alkohol swab, kondom dan brosur informasi.
Puskesmas Kuta 1 juga melakukan program promosi kesehatan berkala yang bertujuan
untuk meningkatakan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan diri, lingkungan
dan wisatawan demi meningkatkan kualitas pariwisata yang ditawarkan.
2.1.2.
Implementasi/pelaksanaan
program pengembangan Kesehatan Pariwisata oleh Puskesmas Kuta I (Poliklinik
VCT, IMS dan Metadhon)
A.
Jumlah
Kejadian/Kasus Penyakit
1. Poliklinik
VCT
a.
Kunjungan klien
berdasarkan jenis kelamin
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Laki – laki
|
11
|
4
|
23
|
4
|
Perempuan
|
12
|
67
|
25
|
41
|
b.
Jumlah klien
yang diberi konseling lengkap dan menerima hasil berdasarkan factor resiko
|
WPS
|
PPS
|
Waria
|
IDU
|
LSI
|
Pasangan
resti
|
Pelanggan
PS
|
Lain-Lain
|
Jan
|
3
|
0
|
0
|
0
|
3
|
9
|
3
|
5
|
Feb
|
61
|
0
|
0
|
0
|
1
|
4
|
3
|
2
|
Mar
|
12
|
0
|
0
|
0
|
2
|
11
|
16
|
7
|
Apr
|
38
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
11
|
2
|
c.
Jumlah ibu hamil
yang ditawarkan tes HIV
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Testing
|
143
|
61
|
116
|
106
|
HIV (positif)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
d.
Jumlah klien
yang ditawarkan tes HIV berdasarkan
jenis kelamin
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Laki –
laki
|
5
|
3
|
2
|
5
|
Perempuan
|
147
|
65
|
118
|
111
|
e.
Jumlah kasus HIV
positif
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Laki – laki
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Perempuan
|
0
|
0
|
1
|
3
|
2. Poliklinik
IMS
a.
Jumlah kunjungan
pasien berdasarkan jenis kelamin di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta I tahun
2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki – laki
|
9
|
2
|
4
|
Perempuan
|
83
|
55
|
95
|
b.
Jumlah kasus IMS
yang ditemukan berdasarkan jenis kelamin di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta I
tahun 2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki – laki
|
6
|
1
|
2
|
Perempuan
|
2
|
9
|
20
|
c.
Jumlah pasien
IMS yang diobati berdasarkan factor resiko di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta
I tahun 2016
|
WPS
|
PPS
|
Waria
|
IDU
|
LSI
|
Pasangan
resti
|
Klien
|
Lain
Lain
|
Jan
|
4
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
1
|
1
|
Feb
|
5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
0
|
2
|
Mar
|
14
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
0
|
6
|
d.
Jumlah pasien
yang di test syphilis di poliklinik IMS UPT Puskesmas Kuta I tahun 2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki –laki
|
1
|
1
|
1
|
Perempuan
|
73
|
44
|
80
|
3. Poliklinik
Metadhon
a.
Jumlah kunjungan
klien ke poliklinik metadhone berdasarkan jenis kelamin di tahun 2016
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
Laki – laki
|
22
|
22
|
21
|
Perempuan
|
3
|
4
|
4
|
b.
Capaian klien
aktif ke poliklinik metadhone tahun 2016:
1)
Januari : 25 orang
2)
Februari : 26 orang
3)
Maret : 25 orang
B.
Prinsip
dan Mekanisme Penanganan Kasus (Rencana dan Implementasi)
1.
Pelayanan
VCT dan TIPK Di UPT Puskesmas I Kuta
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 21 tahun 2013 disebutkan bahwa pemeriksaan
diagnosis HIV dilakukan melalui VCT dan TIPK (Tes Inisiatif Pemberi Pelayanan
Kesehatan dan Konseling). Voluntary Counseling Test (VCT) adalah proses
konseling pra testing, testing, dan konseling post testing secara sukarela yang
bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status
HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat
testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV
yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti
& menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan. Dapat
dikatakan, Voluntary Counseling Test (VCT): Merupakan pintu masuk penting untuk
pencegahan dan perawatan HIV yang merupakan sebuah dialog yang terjaga
kerahasiaan antara konselor dan klien yang bertujuan untuk:
1. Membantu
orang mengetahui statusnya lebih dini, menekankan kepada aspek perubahan
perilaku, peningkatan kemampuan menghadapi stress, ketrampilan pemecahan
masalah.
2. Menekankan
pada issue HIV terkait seperti bagaimana hidup dengan HIV, Pencegahan HIV ke
pasangan, dan issue-issue HIV yang berkelanjutan. Konseling pra tes dilakukan
dengan tatap muka atau tidak tatap muka dan dapat dilaksanakan bersama pasangan
( couple counseling ) atau dalam kelompok ( group counseling ), sedangkan
konseling pasca tes harus dilakukan dengan tenaga kesehatan atau konselor
terlatih. VCT hanya dapat dilakukan bila pasien memberikan persetujuan secara
tertulis.
TIPK adalah tes HIV dan konseling yang
dilakukan kepada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan
berdasarkaninisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan. Adapun langkah langkah
yang dapat dilakukan meliputi : pemberian informasi tentang HIV dan AIDS,
pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes dan konseling. Tes HIV pada
TIPK tidak dapat dilakukan bila pasien menolak secara tertulis. TIPK harus
dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan bagi :
1. Setiap
orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga
telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberculosis
dan IMS
2. Asuhan
antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Bayi
yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV
4. Anak-anak
dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi luas, atau
anak dengan malnutrisi yang tidak ada respon yang baik dengan pengobatan
nutrisi yang adekuat
5. Laki-laki
dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.
Salah satu tempat untuk mengetahui
status HIV dapat dilakukan diKlinik VCT Rijasa UPT. Puskesmas Kuta I.Klinik ini
didirikan pada tanggal 1 Desember 2008 yang bertujuan untuk membantu program
penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kuta khususnya dan kabupaten Badung
umumnya. Kegiatan yang dilakukan di klinik VCT Rijasa meliputi pelayanan dalam
gedung dan pelayanan luar gedung. Pelayanan dalam gedung mencakup pemeriksaan
yang dilakukan ke pasien yang datang mandiri atau dengan rujukan dari petugas
penjangkau/lapangan. Konseling HIV dilakukan oleh tujuh orang konselor terlatih. Dalam menegakkan
diagnosis HIV, dilakukan pemeriksaan darah di pemeriksaan laboratorium UPT.
Puskesmas Kuta I dengan menggunakan cara Rapid Test.Dan hasil pemeriksaan dapat
ditunggu saat hari tersebut. Bila hasil pemeriksaan darah menunjukkan hasil HIV
positif, maka pasien akan dirujuk ke rumah sakit atau klinik swasta untuk
mendapatkan pengobatan selanjutnya. Disamping itu pasien juga akan dikenalkan
dengan LSM gunamendapatkan dukungan psikososial.
Sedangkan pelayanan luar gedung
dilakukan dalam bentuk kegiatan mobile klinik dengan menjangkau tempat resiko
tinggi tertular HIV dan AIDS yang mana seseorang yang berriseko tertular HIV
belum sempat datang ke layanan kerena terkendala dengan waktu.Tempat yang dikunjungi
seperti Kafe, Bar, karaoke, Salon, Panti pijat, Lokalisasi, serta Bedeng
proyek. Hasil pemeriksaan akan dibawakan ke tempat masing-masing sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan. Dalam kegiatan mobile klinik ini memerlukan
kerjasama antara LSM, KPA dan dinas kesehatan.
2.
Poliklinik Infeksi Menular Seksual
Penatalaksanaan pasien IMS yang efektif,
tidak terbatas hanya pada pengobatanantimikroba untuk memperoleh kesembuhan dan
menurunkan tingkat penularannamun juga memberikan pelayanan paripurna yang
dibutuhkan untuk mencapaiderajat kesehatan reproduksi yang baik.Komponen
penatalaksanaan IMS meliputi:
-
Anamnesis tentang
riwayat infeksi/ penyakit
-
Pemeriksaan
fisik dan pengambilan spesimen/bahan pemeriksaan
-
Diagnosis
yang tepat
-
Pengobatan
yang efektif
-
Nasehat
yang berkaitan dengan perilaku seksual
-
Penyediaan
kondom dan anjuran pemakaiannya
-
Penatalaksanaan
mitra seksual
-
Pencatatan
dan pelaporan kasus
-
Tindak
lanjut klinis secara tepat
a. Anamnesis
Anamnesis
dapat dilakukan oleh tenaga medis atau pun paramedis, bertujuan untuk:
1) Menentukan
faktor risiko pasien
2) Membantu
menegakkan diagnosis sebelum dilakukan pemeriksaan fisikmaupun pemeriksaan
penunjang lainnya
3) Membantu
mengidentifikasi pasangan seksual pasien
Agar tujuan anamnesis tercapai,
diperlukan keterampilan melakukan komunikasiverbal (cara kita berbicara dan
mengajukan pertanyaan kepada pasien) maupunketrampilan komunikasi non verbal
(keterampilan bahasa tubuh saat menghadapipasien).Sikap saat melakukan
anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan, yaitu:
1) Sikap
sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi
2) Menciptakan
suasana yang menjamin privasi dan kerahasiaan, sehinggasebaiknya dilakukan
dalam ruang tertutup dan tidak terganggu oleh aktivitas keluarmasukpetugas
3) Dengan
penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan pasien,jangan sambil
menulis saat pasien berbicara dan jangan memutuskanpembicaraannya.
4) Gunakan
keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian anamnesismenggunakan
pertanyaan terbuka, dan mengakhiri dengan pertanyaan tertutup.Pertanyaan
terbuka memungkinkan pasien untuk memberikan jawaban lebihpanjang sehingga
dapat memberikan gambaran lebih jelas, sedangkanpertanyaan tertutup adalah
salah satu bentuk pertanyaan yang mengharapkanjawaban singkat, sering dengan
perkataan “ya” atau “ tidak”, yang biasanyadigunakan untuk lebih memastikan hal
yang dianggap belum jelas.
5) Gunakan
keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya denganmemfasilitasi,
mengarahkan, memeriksa, dan menyimpulkan, sambilmenunjukkan empati, meyakinkan
dan kemitraan.
Informasi yang perlu ditanyakan kepada
pasien:
1) Keluhan
utama
2) Keluhan
tambahan
3) Riwayat
perjalanan penyakit
4) Siapa
menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks,teman, pacar,
suami/isteri
5) Kapan
kontak seksual tersangka dilakukan
6) Jenis
kelamin pasangan seksual
7) Cara
melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital)
8) Penggunaan
kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9) Riwayat
dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukandokter/sendiri)
10) Hubungan
keluhan dengan keadaan lainnya-menjelang/sesudah haid;kelelahan fisik/psikis;
penyakit: diabetes, tumor, keganasan, lain-lain);penggunaan obat: antibiotika,
kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian alatkontrasepssi dalam rahim (AKDR);
rangsangan seksual; kehamilan; kontakseksual
11) Riwayat
IMS sebelumnya dan pengobatannya
12) Hari
terakhir haid
13) Nyeri
perut bagian bawah
14) Cara
kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan
Untuk menggali faktor risiko perlu
ditanyakan beberapa hal tersebut di bawah ini.Berdasarkan penelitian faktor
risiko oleh WHO (World Health Organization) dibeberapa negara (di Indonesia
masih belum diteliti), pasien akan dianggapberperilaku berisiko tinggi bila
terdapat jawaban “ya” untuk satu atau lebihpertanyaan di bawah ini:
1) Pasangan
seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir
2) Berhubungan
seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir
3) Mengalami
1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir.
4) Perilaku
pasangan seksual berisiko tinggi.
b.
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik terutama
dilakukan pada daerah genitalia dan sekitarnya, yangdilakukan di ruang periksa
dengan lampu yang cukup terang. Lampu sorot tambahandiperlukan untuk
pemeriksaan pasien perempuan dengan spekulum. Dalam pelaksanaan sebaiknya
pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain. Padapemeriksaan
terhadap pasien perempuan, pemeriksa didampingi oleh paramedisperempuan,
sedangkan pada pemeriksaan pasien laki-laki, dapat didampingi olehtenaga
paramedis laki-laki atau perempuan. Beri penjelasan lebih dulu kepada
pasienmengenai tindakan yang akan dilakukan:
1) Pada
saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya, pemeriksa
harusselalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa mencuci tangan sebelum
dansesudah memeriksa.
2) Pasien
harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan pemeriksaangenitalia (pada
keadaan tertentu, kadang–kadang pasien harus membuka seluruhpakaiannya secara
bertahap).
a) Pada pasien perempuan
(1) Pasien diperiksa dengan
berbaring pada meja ginekologikdalam posisi litotomi.
Gambar 2.1. Posisi Litotomi
(2) Pemeriksa duduk dengan nyaman ambil melakukan
inspeksi danpalpasi mons pubis, labia, dan perineum
(3) Periksa
daerah genitalia luar dengan memisahkan ke dua labia,perhatikan adakah
kemerahan, pembengkakan, luka/lecet, massa,atau duh tubuh.
b) Pada pasien laki-laki
(1) Pemeriksaan
pasien laki-laki dapat dilakukan sambil duduk/ berdiri.
(2) Perhatikan
daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta daerahskrotum
(3) Perhatikan
adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet atau lesi
3)
Lakukan inspeksi
dan palpasi pada daerah genitalia, perineum, anus dan sekitarnya.
4)
Jangan lupa
memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran kelenjargetah bening
setempat (regional)
5)
Bilamana
tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan pengambilan
bahanpemeriksaan.Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan
untuk tidakberkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum pemeriksaan.
c. Pengambilan
Spesimen
Pasien laki-laki dengan gejala duh tubuh
uretra
1) Beri
penjelasan lebih dahulu agar pasien tidak perlu merasa takut saatpengambilan
bahan duh tubuh gentalia dengan lidi
kapas.
2) Masukkan
lidi kapas ke dalam orifisium
uretra eksterna sampai kedalaman1-2 cm, putar swab dan tarik keluar
perlahan-lahan
3) Oleskan
duh tubuh ke atas kaca obyek yang sudah disiapkan
4) Bila
tidak tampak duh tubuh uretra dapat dilakukan pengurutan (milking) olehpasien.
Pasien perempuan dengan duh tubuh vagina
Pasien
perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan pemeriksaan denganspekulum
serta pengambilan spesimen
1) Beri
penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan agarpasien tidak
merasa takut
2) Bersihkan
terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi larutan NaCl
3) Setiap
pengambilan bahan harus menggunakan spekulum
vagina steril (sesuaikanukuran spekulum, biasanya ukuran speculum sesuai dengan berat badan
pasien dan riwayat kelahiran pervaginam), swab atau
sengkelitsteril
4) Masukkan
daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan posisitegak/vertikal ke
dalam vagina, dan setelah seluruhnya masuk kemudian putarpelan-pelan sampai daun
spekulum dalam posisi datar/horizontal. Bukaspekulum dan dengan bantuan lampu
sorot vagina cari serviks. Kuncispekulum pada posisi itu sehingga serviks
terfiksasi
5) Setelah
itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan pengambilanspesimen
a) Dari
serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa steril, kemudianambil
spesimen duh tubuh serviks dengan swab steril untuk pembuatan sediaan hapus,
dengan swab yang laindibuat sediaan
biakan,
b) Dari
forniks posterior: dengan swab steril untukpembuatan sediaan basah, dan lakukan
tes amin
c) Dari
dinding vagina: dengan kapas lidiuntuk sediaanhapus
d) Dari
uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
6) Cara
melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga spekulumdalam posisi
tertutup, putar spekulum 90o sehingga daun spekulum dalam
posisitegak, dan keluarkan spekulum perlahan-lahan.
Pada
pasien perempuan berstatus belum menikah tidak dilakukan pemeriksaan
denganspekulum, karena akan merusak selaput daranya sehingga bahan pemeriksaan
hanyadiambil dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra. Untuk pasien
perempuan yangbelum
menikah namun sudah aktif berhubungan seksual, diperlukan informed consentsebelum
melakukan pemeriksaan dengan spekulum. Namun bila pasien menolakpemeriksaan
dengan spekulum, pasien ditangani menggunakan bagan alur tanpaspekulum.
d. Pemeriksaan
Anaskopi
1) Indikasi
Bila terdapat keluhan
atau gejala pada anus dan rektum, pasien dianjurkan untukdiperiksa dengan
anoskopi bila tersedia alat tersebut. Pemeriksaan ini sekaligus dapatmelihat
keadaan mukosa rektum atau pengambilan spesimen untuk pemeriksaanlaboratorium
bila tersedia fasilitas.
2) Kontra
indikasi
Anus imperforata
merupakan kontra indikasi absolut untuk tindakan anoskopi, namunbila pasien
mengeluh mengenai nyeri hebat pada rektum, may preclude awakeanoscopic
examination in anxious patients in pain.
3) Posisi
pasien
Pasien berbaring dalam
posisi Sim atau miring dengan lutut ditekuk serta pinggul45o. Posisi
pasien di sebelah kiri pemeriksa.
Gambar
2.2. Posisi lateral decubitus atau posisi Sim.Pasien tidak perlu membuka
seluruh baju sepertipada gambar, namun cukup membuka celananyasampai nampak
daerah anus.
4)
Prosedur
a)
Sebelum melakukan
pemeriksaan anoskopi, lakukan inspeksi daerah anus dansekitarnya, kemudian
lakukan pemeriksaan rektum dengan jari tangan (digital rectalexamination)
b)
Bila menggunakan
anoskopi dengan bagian obturator yang dapat dilepaskan,pastikan bahwa obturator
telah terpasang dengan benar
c)
Beri pelumas sepanjang
badan anoskop dengan pelumas standard atau lidokain
d)
Masukkan anoskop
secara perlahan, dengan sedikit tekanan untuk melawantahanan
akibat kontraksi otot sfingter anus eksterna. Terus dorong alat anoskopsampai
mencapai anorektum.
e)
Bila obturator
terdorong mundur saat insersi, lepaskan anoskop seluruhnya danganti obturator
untuk mencegah mukosa anus terjepit bila obturator dimasukkanbelakangan.
f)
Dorong terus anoskop
sampai batas luar anoskopi mengenai pinggiran anus.
g)
Kecuali alat anoskop
dilengkapi dengan lampu, dapat digunakan sumberpenerangan dari luar, misalnya
lampu senter atau lampu untuk pemeriksaan pelvis.
h)
Bila anoskop sudah
masuk dengan sempurna, tarik obturator keluar.
i)
Sambil menarik anoskop
perlahan-lahan, perhatikan saluran anus. Adakahperdarahan anus proksimal dari
jangkauan anoskop. Hapus darah atau debrissehingga lapang pandang lebih baik,
dan bila ditemukan duh tubuh dapatdilakukan biakan.
j)
Setelah seluruh lingkar
mukosa anus diinspeksi, pelan-pelan tarik anoskop.Perhatikan sumber nyeri atau
perdarahan di daerah distal, misalnya hemoroid,fisura rektum, ulkus, abses,
atau robekan.
k)
Mendekati tahap akhir
penarikan, hati-hati terhadao refleks spasme sfingkter anusyang dapat
menyebabkan anoskop terlempar. Gunakan tekanan yang agak kuatuntuk mencegah
anoskop melejit keluar.
3.
Program Terapi Rumatan Methadone
Program
Terapi Rumatan Methadone (PTRM) adalah program yang bertujuan membantu pecandu
narkotika khususnya opioid untuk berhenti menggunakan atau mengurangi dampak
buruk dari penyalahgunaan opioid. Latar belakang didirikannya klinik methadone
ini karena penyalahgunaan narkotika di Indonesia semakin hari semakin marak.
Dengan maraknya penyalahgunaan narkotika tersebut maka dampak buruknya pun
semakin meluas. Salah satu dampak buruk dari penyalahgunna narkotika khususnya
narkotika suntik adalah penyebaran HIV/AIDS dikalangan pengguna maupun yang
bukan pengguna seperti istri/suami/pasangan dan anak si pengguna. Seperti yang
kita telah ketahui penyakit HIV/AIDS masih merupakan ancaman global dan belum
ditemukan pengobatan yang memuaskan. Sehingga sangatlah penting untuk mencegah
penularannya. Salah satu upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS terutama dari
kalangan pengguna narkotika suntik (penasun) adalah dengan program harm
reduction atau program pengurangan dampak buruk akibat penggunaan narkotika
suntik. Terdapat beberapa cara penanggulangan dan salah satunya adalah terapi
substitusi dengan pemberian metadon.
Terapi
substitusi yang sering kita kenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM) ini adalah terapi yang bertujuan mengganti penggunaan zat seperti heroin
atau morfin dengan metadon. Metadon adalah suatu zat yang secara kimiawi
termasuk dalam golongan opioid sama halnya dengan heroin ataupun morfin.
Metadon berfungsi menekan susunan saraf pusat dan mempunyai efek penghilang
rasa sakit yang kuat. Walaupun segolongan dan bekerja dengan cara yang sama
tetapi metadon memiliki beberapa perbedaan dengan morfin atau heroin dimana
metadon mudah dicerna secara oral (diminum) berbeda dengan golongan opioid lain
yang tidak memiliki sifat itu sehingga harus digunakan dengan cara disuntikkan
untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Sehingga dengan penggunaan metadon
sebagai terapi pengganti jenis opioid suntik yang lain maka akan mengurangi
penggunaan narkotika suntik dan pada akhirnya akan dapat menurunkan angka
kejadian HIV/AIDS. Berbeda dengan heroin atau morfin klien yang beralih ke
metadon dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih stabil. Selain
karena penggunaanya yang cukup diminum sekali sehari juga karena efek yang
diharapkan dari penggunaan metadon bukanlah efek-efek seperti pada penggunaan
heroin atau morfin. hal inilah yang menyebabkan klien metadon dapat lebih aktif
dalam kehidupan sehari-hari sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Hal lain tentang terapi metadon adalah biaya terapi yang relatif murah bila
dibandingkan dengan penggunaan narkotika suntik.
Terdapat
beberapa tahapan dalam terapi rumatan metadon. Tahap awal adalah tahap
penentuan apakah seseorang klien bisa atau tidak masuk dalam PTRM. Terdapat
beberapa kriteria inklusi dan ekslusi diantaranya adalah:
a.
Kriteria inklusi
1)
Harus memenuhi kriteria
ICD-X untuk ketergantungan opioid
2)
Usia 18 tahun atau
lebih, jika belum 18 tahun harus mendapat second opinion dari profesional medis
lain
3)
Mengalami
ketergantungan opioid dalam jangka waktu 12 bulan terakhir
4)
Sudah pernah mencoba
berhenti menggunakan opioid minimal satu kali
b. Kriteria
eksklusi
1) Klien
dengan penyakit fisik yang berat
2) Psikosis
yang jelas
3) Retardasi
mental
Tahap selanjutnya adalah pemberian
konseling terutama konseling tentang adiksi dan membuat rencana perawatan.
Tahap terapi rumatan metadon sendiri terbagi dalam 4 tahap yaitu tahap
pemberian dosis awal, fase stabilisasi, fase rumatan dan fase reduksi. Pada
fase pemberian dosis awal dimulai dengan dosis yang sangat rendah yaitu 15-30
mg perhari untuk kemudian pada fase stabilisasi dosis dinaikkan bertahap 5-10
mg setiap 3-5 hari. Pasien dikatakan mencapai dosis rumatan atau pemeliharan
apabila dengan dosis hariannya pasien/klien telah merasa stabil baik secara emosional,
pekerjaan dan kehidupan sosial. Rata-rata dosis rumatan bervariasi antara
60-120 mg per harinya tetapi sangat bervariasi pada masing-masing individu.
Fase rumatan tersebut dapat berlangsung selama bertahun-tahun hingga klien
merasa benar-benar stabil. Fase penghentian metadon atau fase reduksi juga
dilakukan secara bertahap. Tahap penghentian dapat dimulai apabila klien telah
dalam keadaan stabil, minimal 6 bulan dalam keadaan bebas heroin, dan pasien
dalam keadaan stabil untuk bekerja dan dalam lingkungan rumah. Penurunan dosis
maksimal sebanyak 10 % dan penurunan dosis yang direkomendasikan adalah setiap
2 minggu. Dalam menjalani terapi klien akan secara berkala dipantau
kesehatannya dan diberikan konseling secara berkala pula. Dalam terapi rumatan
metadon terkadang timbul beberapa efek samping seperti konstipasi (sembelit),
mengantuk, berkeringat, mual, muntah, gangguan fungsi seksual, gatal dan juga
jerawat. Metadon diberikan kepada klien dalam bentuk cair dan dalam
pemberiannya dicampur dengan sirup hingga mencapai 100 cc untuk mengurangi rasa
pahit. Setelah mengkonsumsi metadon klien akan diberikan permen untuk dikunyah
tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah air liur dan sehingga mengurangi
efek samping kerusakan pada gigi.
Program terapi rumatan metadon di Bali
pertama kali diadakan di RSUP Sanglah.
Lalu kemudian seiiring meningkatnya jumlah klien yang ingin menjalani terapi
substitusi dengan metadom maka dibangunlah satelit-satelit pelayanan metadon.
Salah satunya PTRM Puskesmas Kuta I. Program terapi rumatan metadon yang
berdiri sejak 5 september 2006 ini hingga saat ini memiliki 28 orang klien yang
secara rutin aktif memperoleh terapi substitusi metadon setiap harinya.
Sedangkan klien yang teregistrasi dari awal berdiri sebanyak 369 orang. PTRM
Kuta I dipilih karena mudahnya akses bagi para klien yang kebanyakan bekerja
dan bermukim di daerah Kuta sehingga mereka tidak harus menempuh jarak yang
jauh untuk mendapatkan metadon dan secara otomatis akan meningkatkan kepatuhan
mereka dalam menjalani terapi metadon dan pada akhirnya akan berimbas pada
membaiknya kualitas hidup mereka. Selain pemberian metadon, PTRM Puskesmas Kuta
I juga menyediakan layanan konseling, VCT, pemeriksaan fisik, laboratorium,
penyedian jarum suntik steril dan kondom. Mengingat begitu banyaknya keunggulan
metadon dibandingkan penggunaan narkotika suntik lain seperti heroin dan morfin
maka tidak salah jika terapi subtitusi ini merupakan pilihan dan begitu
diminati. Suatu terapi substitusi yang aman, murah dan membuat penggunanya
dapat hidup dengan lebih baik.
C.
Evaluasi
dan Rencana Tindak Lanjut Penanganan Kasus
Di Puskesmas Kuta I menangani setiap
pasien yang mengalami masalah dengan cara selalu mengingatkan pasien untuk
rajin control agar para staf bisa memantau mereka secara menyeluruh hingga
mereka sembuh secara total. Sedangkan
untuk pasien yang memerlukan penganganan lebih lanjut pasien biasanya dirujuk
ke RSUD Badung.
2.1.3.
Masalah
atau Kendala-Kendala yang Dihadapi Puskesmas Kuta I dalam Penatalaksanaan
Program Pengembangan Kesehatan Pariwisata
dr. Yani mengungkapkan secara umum kendala yang
dihadapi Puskesmas Kuta I dalam penatalaksanaan program pengembangan kesehatan
pariwisata adalah terbatasnya tenaga kerja (sumber daya manusia) dan berikut
ini adalah kendala yang dialami pada poliklinik VCT, IMS serta metadhone di
Puskesmas Kuta I.
1. Poliklinik
VCT
a. Keterjangkauan
obat
b. Tidak
teraturnya minum obat dari pihak pasien
c. Pasien
yang mengalami alergi terhadap beberapa jenis obat
2.
Poliklinik Methadone
a.
Keterjangkauan jarak
b.
Tidak adanya wali untuk mengurus
klien
c.
Klien tersandung kasus sehingga
membuat pengobatan terhenti sementara
d.
Hilangnya obat
e.
Biaya pengobatan
f.
Masih menggunakan obat-obatan yang
lain
g.
Susah memberikan pengertian tentang
pemberian dosis
3.
Poliklinik IMS
a.
Pasien tidak mau terbuka tentang
masalah atau penyakit yang dialaminya
b.
Pasien tidak mau jujur
c.
Tenaga kesehatan terbatas
d.
Pasien tidak siap dalam
Pemeriksaan atau pengobatan
e.
Pasien menghentikan pengobatan
karena menganggap dirinya sudah sembuh
BAB III
HASIL DAN HAMBATAN
3.1. Hasil
Puskesmas Kuta 1
sebagai salah satu puskesmas wisata yang ada di Bali yang terletak di Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung merupakan sebuah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab terhadap pembangunan
kesehatan pariwisata di wilayah kerjanya.
Melaluikegiatan kunjungan
ini penulis memperoleh pengalaman baru di bidang
pelayanan kesehatan masyarakat khususnya
dalam hal ini terkait dengan peran tenaga kesehatan dalam mendukung kesehatan
pariwisata serta dapat melihat dan mempelajari lebih
banyak tentang kegiatan yang dilakukan di Puskesmas Kuta 1. Berbeda dengan puskesmas pada umumnya, Puskesmas Kuta
1 memiliki beberapa pelayanan, diantaranya:
1.
Loket dan Ruang tunggu pasien
2.
Poliklinik IMS
3.
Unit Gawat Darurat UGD
4.
Poliklinik umum
5.
Poliklinik KIA
6.
Poliklinik KB
7.
Poliklinik VCT
8.
Program Terapi Rumatan Methadone
9.
Laboratorium
Diantara sekian pelayanan yang tersedia, tiga
poliklinik yang tidak selalu ada di puskesmas lain di Bali yaitu poliklinik
VCT, poliklinik IMS dan poliklinik methadone yang memiliki peran penting dalam
menanggulangi penyakit-penyakit yang angka kejadiannya tinggi di daerah
pariwisata yang memiliki karakteristik mobilitas penduduk tinggi, banyaknya
penduduk pendatang dan mata pencaharian masyarakat sekitar terutama di bidang
perdagangan dan jasa.Ketiga poliklinik tersebut adalah sebagai penanganan
tingkat dasar terhadap penyebaran penyakit khususnya penyakit menular seksual.
Selain program
dan pelayanan yang berada di dalam ruangan, Puskesmas Kuta I juga memiliki pelayanan
luar gedung yang dilakukan
dalam bentuk kegiatan mobile klinik dengan menjangkau tempat resiko tinggi
tertular HIV dan AIDS yang mana seseorang yang berriseko tertular HIV belum
sempat datang ke layanan kerena terkendala dengan waktu.Tempat yang dikunjungi
seperti Kafe, Bar, karaoke, Salon, Panti pijat, Lokalisasi, serta Bedeng
proyek. Hasil pemeriksaan akan dibawakan ke tempat masing-masing sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditentukan. Dalam kegiatan mobile klinik ini memerlukan
kerjasama antara LSM, KPA dan dinas kesehatan.
3.2. Hambatan
Adapun hambatan yang penulis alamai baik dalam proses kegiatan kunjungan
ataupun proses penyusunan laporan kegiatan, diantaranya:
1.
Keterbatasan waktu
dalam penyampaian materi oleh narasumber serta proses
diskusi, sehingga penulis/mahasiswa belum sepenuhnya mengerti tentang materi
yang disampaikan sehingga laporan yang penulis buat
tidak maksimal dan terperinci.
2.
Keterlambatan staf datang
ke puskesmas membuat penulis/mahasiswa menunggu dan membuang waktu untuk mengumpulkan
data.
3.
Kurangnya koordinasi
antara pihak kampus dengan puskesmas terkait dengan kegiatan kunjungan dan
acara di puskesmas tersebut. Hal ini mengakibatkan, kegiatan yang sebelumnya
telah direncanakan seperti penjajakan ke poliklinik yang ada di Puskesmas Kuta
I harus dibatalkan karena adanya kesibukan/kegiatan lain yang harus dijalankan
oleh pihak puskesmas, sehingga penulis/mahasiswa hanya mendengarkan penyampaian
materi di ruang pertemuan saja.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil kunjungan dan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa di Puskesmas
Kuta I tersediatiga poliklinik yang tidak selalu ada di
puskesmas lain di Bali yaitu poliklinik VCT, poliklinik IMS dan poliklinik
methadone yang memiliki peran penting dalam menanggulangi penyakit-penyakit
yang angka kejadiannya tinggi di daerah pariwisata yang memiliki karakteristik
mobilitas penduduk tinggi, banyaknya penduduk pendatang dan mata pencaharian
masyarakat sekitar terutama di bidang perdagangan dan jasa.
Ketiga poliklinik
tersebut adalah sebagai penanganan tingkat dasar terhadap penyebaran penyakit
khususnya penyakit menular seksual.Poliklinik
VCT merupakan klinik yang khusus menangani dan memberi konseling pada para
penderita HIV AIDS. Poliklinik IMS merupakan poklinik yang khusus menangani dan memberi
konseling pada para penderita penyakit menular seksual. Sedangkan poliklinik methadone
merupakan poliklinik
yang khusus menangani dan memberi konseling pada para penderita yang pecandu
narkotika jenis heroin.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran 01
Profil Puskesmas Kuta I
Lampiran 02
Pemaparan materi
Pemaparan
materi oleh dr. Yani
Pemaparan
materi oleh petugas poliklinik IMS
Lampiran 03
Gambaran Kunjungan Klien di Puskesmas Kuta I
Lampiran 04
Langkah-langkah pemasangan speculum vagina
Lampiran 05
Pemeriksaan anaskopi
Gambar alat
pemeriksaan anaskopi
Langkah-langkah
pemeriksaan anaskopi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar